KEMISKINAN SENGAJA DIPERTAHANKAN

Agar diskusi tidak melebar, mari kita samakan persepsi terlebih dahulu.
Dalam konteks ini, kemiskinan yang dimaksud mengacu pada standar Badan Pusat Statistik (BPS), yakni batas pengeluaran Rp 550.458 per bulan. Artinya, siapa pun yang pengeluarannya berada di kisaran tersebut tergolong miskin.
Namun, angka ini terasa terlalu ekstrem. Oleh karena itu, mari kita naikkan ambangnya menjadi Rp 1,5 juta per bulan. Menurut saya, dengan pengeluaran sebesar itu pun seseorang masih dalam kategori miskin karena sangat terbatas.
Dengan pemahaman yang sudah selaras, pertanyaannya bisa diperjelas menjadi:
Apakah mereka yang hanya mampu bertahan dengan pengeluaran Rp 1,5 juta per bulan sengaja dipertahankan dalam kondisi tersebut?
Beberapa waktu lalu, saat sedang berselancar di TikTok, saya melihat sebuah video singkat dari Deddy Corbuzier, mantan pesulap. Intinya, dia berkata:
"Saya harus kaya. Saya harus tetap kaya. Kenapa? Agar tidak ada yang bisa membeli saya."
Dari situ, bisa disimpulkan bahwa kemiskinan memang sengaja dipertahankan. Kenapa? Karena suara orang miskin bisa diperjualbelikan.
Pemerintah, dengan berbagai cara, tampaknya berusaha menjaga agar jumlah orang miskin tetap tinggi. Bahkan, kelas menengah pun seakan-akan didorong untuk jatuh miskin melalui berbagai kebijakan pajak yang membebani mereka.
Uang yang dikumpulkan dari masyarakat melalui pajak dan berbagai pungutan lainnya kemudian digunakan untuk memberikan bantuan sosial, subsidi, atau stimulus. Dengan cara ini, pemerintah bisa tampil seolah sebagai pahlawan yang menyelamatkan rakyat dari penderitaan—padahal, penderitaan itu berasal dari sistem yang mereka ciptakan sendiri.
Ironisnya, banyak orang miskin yang kurang berpendidikan benar-benar percaya bahwa pemerintah adalah penyelamat mereka. Yang lebih menyedihkan lagi, bahkan sebagian masyarakat terdidik yang menjadi pendukung fanatik pemerintah pun berpikir demikian.