BEBAN MENJADI ORANG KAYA

Menjadi orang dengan ekonomi mapan di Indonesia ternyata bukan perkara mudah. Beban yang mereka tanggung sering kali jauh lebih berat dari yang terlihat, seperti yang dialami oleh Mbak Nunung Srimulat.
Sebagai anak ketiga dari tujuh bersaudara, beliau harus bekerja keras untuk menafkahi keluarganya. Kakak maupun adik yang mengalami kesulitan finansial selalu mengandalkan Mbak Nunung. Bahkan ketika mereka sudah berumah tangga, tetap saja beliau yang dimintai bantuan.
Situasi ini begitu berat hingga membuatnya merasa cemas setiap kali melihat ponselnya berdering. Bukannya mendapat perhatian atau sekadar sapaan hangat, keluarganya hanya menghubungi saat membutuhkan uang.
Dari seorang yang dulunya hidup berkecukupan, kini Mbak Nunung harus berjuang melawan tekanan ekonomi akibat terus-menerus menjadi tulang punggung keluarga.
Masalah ini bukan sekadar soal kaya dan miskin, melainkan antara mereka yang mati-matian bekerja demi keluarga dan mereka yang hanya tahu meminta, tanpa memikirkan bagaimana perjuangan orang yang menjadi tumpuan hidup mereka.
Ironisnya, pola ini sering kali dianggap wajar. Ada yang menyebutnya tradisi, ada yang membenarkannya dengan dalih agama, bahkan ada yang mencari-cari alasan agar bisa terus menggantungkan hidup pada orang lain.
Kisah serupa juga terjadi pada banyak pekerja migran Indonesia. Dengan penuh pengorbanan, mereka bekerja di negeri orang demi memperbaiki kondisi ekonomi keluarga. Namun, ada yang harus menelan kenyataan pahit karena ditipu oleh keluarganya sendiri. Rumah yang mereka kira telah direnovasi ternyata tak pernah tersentuh perbaikan, dan foto yang dikirimkan hanyalah milik tetangga.
Melihat semua ini, terasa miris bagaimana orang yang bekerja keras sering kali dieksploitasi oleh orang terdekatnya sendiri. Mereka yang terus-menerus meminta tidak akan pernah memahami sulitnya mencari nafkah. Apa yang disebut sebagai gotong royong pun menjadi ilusi—hanya segelintir orang yang berusaha, sementara sisanya tinggal menunggu hasilnya.