Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

POLITIK CERDAS ALA PRABOWO



Di dunia politik, Prabowo itu sebenarnya politisi yang naif. Naif bukan dalam artian yang buruk, tapi keteguhan, kepolosan dan ketulusan dia mendukung seseorang tanpa dia sadari membuat dia melahirkan lawan-lawan politiknya sendiri.

Pada 2009 dia menjadi cawapres pasangan Megawati, mereka menulis perjanjian di Batutulis kalau mereka menang maka Megawati akan mendukung Prabowo menjadi capres pada pemilu berikutnya. Di luar dari perdebatan yang katanya Megawati harusnya mendukung Prabowo pada pemilu 2014, menurut saya itu tidak berlaku, karena mereka kalah, jadi tidak ada lanjutan bagi perjanjian itu. Bagaimanapun, ketika Megawati mencalonkan Jokowi, saya dapat merasakan bahwa Prabowo kecewa. Dia sudah berusaha bertemu tapi tidak berhasil ditemui.

Pada 2012, dia menjadi salah satu sponsor utama Jokowi dan Ahok untuk maju sebagai Gub/Wagub Jakarta, tanpa dia sadari dia sedang membuka jalan bagi lawan yang akan mengalahkannya 2x pada pilpres² berikutnya. Ahok pun ketika menjabat sebagai Gub Jakarta menggantikan Jokowi akhirnya keluar dari Gerindra.

Pada 2017, kembali Prabowo mengambil langkah keliru dengan mencalonkan Anies - Sandi sebagai Gub/Wagub Jakarta. Anies yang ditolongnya akhirnya menjadi lawannya di pilpres 2024 dan memberinya nilai 11 dari 100, untung kalah. Sementara Sandi yang diberikannya posisi Wakil Ketua Umum DPP Gerindra juga hampir menjadi lawannya di 2024 dan akhirnya mencelat ke PPP.

Untungnya Prabowo ini tetap mau belajar dari kekalahan, ini membuka jalan dia menjadi presiden di 2024. Walaupun dia pembelajar yang lambat, salah satu yang saya apresiasi dari Prabowo adalah keteguhannya dan kerendahan hatinya untuk mampu bersikap dan menempatkan diri sesuai posisi dia saat ini. Kita bisa melihat bagaimana bahasa tubuh Prabowo yang tegas dan kuat saat mencalonkan Jokowi - Ahok, versus bahasa tubuhnya yang merendahkan diri saat menjadi pembantu presiden. Sejujurnya sebagai ketua umum partai yang cukup besar, mantan jenderal, pernah mencalonkan lawannya tentu tidak mudah untuk merendahkan diri, menerima tawaran bergabung dan menjadi pembantu orang yang dulu dia promosikan.