Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Istilah Rakut Sitelu Disebut Tidak Tercatat Dalam Sejarah Karo


THE EDITOR
 – Missionaris seperti H.C. Kruyt, M. Joustra, dan J.H. Neumann yang rajin menulis tentang budaya Suku Karo Tidak pernah menyebutkan istilah ‘Rakut Sitelu’ dalam berbagai macam bukunya.

Demikian dikatakan oleh Antropolog Asal Suku Karo yang kini tinggal di Belanda Juara R. Ginting dalam keterangan yang diterima oleh Redaksi The Editor beberapa waktu lalu.

“Demikian juga pegawai pemerintahan kolonial C.J. Westenberg yang kawin pula dengan seorang perempuan Karo (Negel br Sinulingga) tidak pernah menyebut rakut sitelu di dalam tulisan-tulisannya,” ungkap Juara.

“Padahal, ada beberapa missionaris seperti H.C. Kruyt, M. Joustra, dan J.H. Neumann yang rajin menulis mengenai Kebudayaan Karo. Tapi, tidak sekalipun mereka pernah menyebut rakut sitelu. Demikian juga pegawai pemerintahan kolonial C.J. Westenberg yang kawin pula dengan seorang perempuan Karo (Negel br Sinulingga) tidak pernah menyebut rakut sitelu di dalam tulisan-tulisannya,” kata Juara.

Dalam buku-buku para misionaris ini yang diterbitkan oleh pemerintah Belanda, lanjut Juara, istilah yang paling umum disebutkan dalam budaya Karo adalah tentang Anak Beru dan Senina.

Apa Pentingnya Budaya Ini Bagi Suku Karo?

Juara mengatakan bila selama ini masyarakat Karo kebanyakan hanya ikut-ikutan dalam melihat dan mempelajari kebudayaan mereka sendiri.

Sebagai seorang akademisi, Juara ingin agar masyarakat Karo kembali mempelajari kebudayaan mereka dan mengingat bagian-bagiannya dengan rinci.

Tak hanya itu, menurut Juara, masyarakat Karo terkadang hanya mempelajari kebudayaan dari tulisan-tulisan yang dibuat oleh orang-orang yang tidak memiliki pengetahuan tentang Suku Karo itu sendiri.

“Makanya tadi saya katakan “melatah”. Karena begitu ditulis di buku-buku, mereka pun menulisnya dan mengucapkannya begitu tanpa mengetahui proses pembentukannya sampai begitu. Mereka cuma terima memang begitulah adanya Kebudayaan Karo,” katanya.

Geriten Merga Tarigan Gerneng yang berada di Desa Cingkes, Kecamatan Tigapanah, Kabupaten Karo, Sumatera Utara (Foto: Elitha Evinora Br Tarigan/ THE EDITOR)
Geriten Merga Tarigan Gerneng yang berada di Desa Cingkes, Kecamatan Tigapanah, Kabupaten Karo, Sumatera Utara (Foto: Elitha Evinora Br Tarigan/ THE EDITOR)

Salah satu buku yang dikritisi tajam oleh Juara adalah buku kebudayaan Karo yang ditulis oleh penulis P. Tamboen yang berjudul ‘ADAT ISTIADAT KARO’ terbitan Balai Pustaka (Jakarta) Tahun 1952.

Buku tersebut menurut Juara sangat identik dengan Budaya Toba dengan konsep ‘Dalihan Na Tolu’ yang terdiri dari Dongan Sabutuha, Boru dan Hula-Hula.

“Tampaknya dalihan na tolu didasarkan pada pikiran bahwa segalanya adalah milik marga yang dalam hal ini sering disebut clan. Karena itu, di banyak Kepustakaan Batak istilah dongan sabutuha diterjemahkan “own clan” sementara boru “wife-taking clan” dan hula-hula “wife-giving clan”,” jelas Juara.

“Jadi, hubungan antar clan (marga) adalah dasar dari berbagai hubungan sosial di Masyarakat Batak,” tandasnya.

Apakah Masyarakat Karo Tahu Sejarah Rakut Sitelu?

Kata Juara, selama ini masyarakat Karo memahami istilah Rakut Sitelu dengan istilah Senina, Anak Beru dan Kalimbubu.

Tapi, Ia mempertanyakan apakah selama ini masyarakat Karo menggunakan Clan mereka dalam membangun hubungan sosial?

Jawabannya adalah tidak. Karena dalam ritual Suku Karo, baik itu kecil dan besar selalu beranggotakan sepasang suami istri beserta anak-anaknya.

“Sebuah ritual besar (kerja sintua) mengindikasikan pemilik ritual adalah sepasang suami istri (pengulu dan kemberahen) yang hidup beberapa generasi di masa lalu yang mungkin lebih dari 100 tahun lalu. Mereka menjadi nenek moyang pemilik ritual (simada kerja) dan pemilik ritual adalah suksesor mereka,” jelas Juara.

“Para tegun sembuyak adalah keturunan patrilineal dari putra-putra mereka, tegun anak beru keturunan patrilineal saudari-saudari pengulu beserta suksesor mereka, tegun senina adalah keturunan patrilineal saudari-saudari kemberahen beserta suksesor mereka, dan kalimbubu keturunan patrilineal saudara-saudara kemberahen dan suksesor mereka,” katanya lagi.

“Tidak aneh, bukan, kalau istri anda adalah ibu dari ayah anda dan semua tegun sembuyak anda? Itu wajar karena istri anda adalah suksesor Kemberahen yang menurunkan semua tegun sembuyak anda,” ungkapnya.

Dengan begitu logika hubungan tegun sembuyak dengan kemberahenndu, akan menjadi terang siapa saja penerima Mas Kawin, diantaranya:

1. Batang Unjuken (ibu pengantin perempuan) SEMBUYAK

2. Sirembah Ku Lau (bibi pengantin perempuan arah bapa) ANAK BERU 

3. Perbibin (bibi pengantin perempuan arah nande) SENINA

4. Singalo Bebere (saudara ibu pengantin perempuan) KALIMBUBU 

Ditambah:

5. Singalo Perkempun (nini pengantin perempuan arah nandena) sama dengan nomor 4

6. Singalo Perninin (nini pengantin perempuan arah bapana) sama dengan nomor 1.

Juara mengatakan bila dalam rakut sitelu pemilik ritual disatukan menjadi sembuyak atau senina. Padahal jelas sekali perbedaan pemilik ritual dengan sembuyakna. 

“Siapa pendana utama ritual itu? Sembuyak/ Senina kah atau sepasang suami istri itu?” tanya Juara.

Dua gambar diatas adalah aron gegeh yang tengah mengerjakan salah satu lahan pertanian anggotanya di salah satu desa di Tanah Karo pada tahun 1914 sampai 1919 (Sumber: Karo Siadi/ Tropenmuseum/ THE EDITOR)
Dua gambar diatas adalah aron gegeh yang tengah mengerjakan salah satu lahan pertanian anggotanya di salah satu desa di Tanah Karo pada tahun 1914 sampai 1919 (Sumber: Karo Siadi/ Tropenmuseum/ THE EDITOR)

Seperti diketahui, Juara R. Ginting adalah salah satu Antropolog asal Taneh Karo, Sumatera Utara, Indonesia yang kini tinggal di Belanda.

Ia kerap bersuara keras pada berbagai macam perubahan adat budaya Suku Karo yang dipaksakan kupada masyarakat.

Dalam beberapa tulisannya, Juara memuat hasil penelitian tentang budaya Karo di berbagai macam jurnal tulisan yang termit di luar negeri.

Termasuk salah satunya tentang sejarah Karo yang disebut sebagai Suku Batak oleh pemerintah Indonesia. Penelitian yang telah diterbitkan ini mendapat banyak pergolakan di Suku Karo sendiri.

Namun, Juara tetap meminta agar setiap kritik dan penolakan dibuat berdasarkan penelitian yang ilmiah karena menurutnya banyak oknum yang tidak ingin masyarakat Karo  mengetahui sejarah mereka yang hebat.

“Kalau memang kam pemberani, bukan hanya berani saling maki dan hujat di TikTok, tapi berani bersikap kritis terhadap pengetahuan mengenai budaya sendiri. Mereka akan tercampak tatkala anda terbangun dari bius teori mereka tentang masyarakat anda. Mejuah-juah,” tutup Juara.