Fenomena Orang Karo di Medan Yang Tak Bisa Berbahasa Karo Meski Tinggal di Kotanya Sendiri
Guru Patimpus adalah orang pertama yang mendirikan perkampungan di Kota Medan di abad ke-16. Ia yang bermarga Sembiring Pelawi ini berasal dari Taneh Karo dan menikah dengan seorang putri Raja Pulo Brayan.
Hari ulang tahun Kota Medan yang diperingati setiap tanggal 1 Juli berkaitan dengan keberhasilan Guru Partimpus dan istrinya membuka kawasan hutan antara Sungai Deli dan Sungai Babura yang kemudian menjadi Kampung Medan. Tanggal kejadian ini biasanya disebut sebagai 1 Juli 1590.
Kedatangan Bangsa Tionghoa dan Jawa Sebagai Kuli Di Perkebunan
Di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 terdapat dua gelombang migrasi besar ke Medan. Gelombang pertama berupa kedatangan orang Tionghoa dan Jawa sebagai kuli kontrak perkebunan. Tetapi setelah tahun 1880 perusahaan perkebunan berhenti mendatangkan orang Tionghoa, karena sebagian besar dari mereka lari meninggalkan kebun dan sering melakukan kerusuhan.
Perusahaan kemudian sepenuhnya mendatangkan orang Jawa sebagai kuli perkebunan. Orang-orang Tionghoa bekas buruh perkebunan kemudian didorong untuk mengembangkan sektor perdagangan.
Gelombang kedua ialah kedatangan orang Minangkabau, Mandailing, dan Aceh. Mereka datang ke Medan bukan untuk bekerja sebagai buruh perkebunan, tetapi untuk berdagang, menjadi guru dan ulama.
Sebagai pendiri Kota Medan, suku Karo yang tinggal disana justru mengaku tidak bisa berbahasa Karo. Padahal tidak ada alasan mengapa mereka tidak bisa berbahasa Karo.
Saya sendiri sangat heran dengan fenomena ini. Saya malu pada sahabat saya beru Simanjuntak sangat fasih berbahasa Toba meskipun tinggal di Yogyakarta. Orang tuanya bahkan tinggal di Eropa selama puluhan tahun. Mereka tak pernah lupa berbahasa daerah saat bertemu.
Bagaimana dengan orang Karo?
Kelly Br Sembiring yang tak sengaja saya temui di Depok berbicara terbata-bata dalam bahasa Karo kepada saya. Sontak saya tanyakan, “Sudah berapa lama di Jakarta?”.
Dia jawab ,” Dua tahun,”.
Saya tanya kembali, “Dimana tinggal selama ini?”.
Jawabnya, “Di Medan,”.
“Kenapa tidak bisa bahasa Karo?” tanya saya dengan kening berkerut.
“Tidak biasa bicara bahasa Karo di rumah,” jawabnya polos.
Fenomena Orang Karo Tak Bisa Bicara Bahasa Karo Di Medan Memang Cukup Aneh
Budaya berbelanja ke pasar tradisional adalah budaya lumrah yang bisa ditemukan di Kota Medan. Sebut saja Pasar Sentral, Pasar Petisah, Pasar Ramai atau Pasar Ikan Lama. Adakah diantaranya yang tidak ada orang bersuku Karo disana? jawabannya pasti ada!
Perkampungan Karo tersebar diseluruh titik di Kota Medan. Apakah ada alasan orang Karo di tanah kelahirannya sendiri tidak bisa berbicara dalam bahasa Karo?
Bahasa Karo secara historis ditulis menggunakan aksara Karo atau sering juga disebut Aksara Surat Pustaha atau Surat Aru/Haru merupakan turunan dari aksara Brahmi dari India kuno.
Berdasarkan aturan kurikulum nasional, Aksara Surat Pustaha masuk dalam daftar pelajaran yang harus dipelajari di sekolah. Ada yang masuk kurikulum SD, SMP atau SMA. Namun, ada sekolah yang memberlakukan pelajaran Bahasa Karo di seluruh jenjang pendidikan. Dengan kata lain, Bahasa Karo dan aksara kunonya tidak mungkin hilang ditelan masa.
Dialek atau logat berbahasa orang Karo juga tidak sama antara satu daerah dengan lain. Logat Karo Gugung dan Logat Karo Jahe-Jahe tidak sama satu sama lain. Satu kata namun berbeda arti, demikian dialek yang umum berlaku di Tanah Karo.
Cara berbahasa Suku Karo juga berbeda. Logat Karo Gugung menggunakan intonasi yang membuat mereka seolah menyanyi saat bertanya dan berbicara. Sementara Logat Karo Jahe-Jahe menggunakan intonasi yang sifatnya penekanan dengan dominan penggunaan huruf E dengan taling terbuka. Jadi, saat berbicara dengan warga Suku Karo Jahe-Jahe membuat pendengarnya selalu bahagia dan bersemangat.
Bila Bahasa Karo masuk dalam kurikulum nasional, mengapa orang Karo justru tidak mau berbahasa bahasa Karo?
Beberapa yang saya temui di lapangan mengaku bahwa keluarga adalah faktor utama yang membuat mereka tidak fasih berbahasa Karo.
Namun, orang Karo sendiri selalu menyindir keluarga atau sanak keluarganya yang tidak mau berbicara dalam Bahasa Karo saat berbicara. Sindirian dari mereka acapkali kasar terdengar. Namun efektif karena yang bersangkutan tiba-tiba menjawab pembicaraan dalam bahasa Karo.
Source : The Editor