Sejarah Kota Medan, Sejarah Kesaktian Dan Empathy Bangsa Karo
Pada awalnya wilayah kota Medan saat ini adalah termasuk dalam wilayah kekuasaan Kerajaan Aru atau Haru dalam surat atau aksara Karo tertulis ᯀᯒᯬ yang merupakan sebuah kerajaan Karo yang pernah berdiri di wilayah pantai timur Sumatera Utara dan berkuasa pada kurun abad ke-13 sampai abad ke-16 Masehi.
Pada masa jayanya kerajaan ini adalah kekuatan bahari yang cukup hebat, dan mampu mengendalikan kawasan bagian utara Selat Malaka.
Penduduk asli Medan pada mulanya menjalankan kepercayaan animisme, Pemena, dan juga Hinduisme. Pada abad ke-13 Masehi, ajaran Islam datang dan kemudian juga dipratikkan bersamaan dengan ajaran asli setempat yang sudah ada.
Ibukota kerajaan Aru atau Haru terletak dekat dengan Kota Medan dan Kabupaten Deli Serdang. Penduduk kerajaan Aru atau Haru dipercaya merupakan keturunan orang-orang Karo yang menghuni pedalaman Sumatera Utara.
Selanjutnya berdasarkan dokumen Risalah Riwayat Hamparan Perak dan penelitian team penyusun sejarah kota Medan yang di pimpin Prof Mahadi dkk 12 Agustus 1972 serta buku sejarah Hari Jadinya Kota Medan 1 Juli 1590 karya Dada Meuraxa 1 Mei 1975 serta penetapan keputusan DPRD Kota Medan dan Surat Keputusan Walikota Medan maka di tetapkan bahwa Guru Patimpus Sembiring Pelawi yang lahir di Aji Jahe, Taneh Karo adalah pendiri Kota Medan yang diambil dari kata "madaan" yang berarti "sembuh" dalam bahasa Karo.
Sebelum Guru Patimpus Sembiring Pelawi memeluk agama Islam, ia adalah seorang yang mempunyai kepercayaan Pemena. Guru Patimpus Sembiring Pelawi menikah dengan seorang putri Raja Pulo Brayan dan mempunyai dua anak laki-laki, masing-masing bernama Kolok dan Kecik.
Setelah menikah, Guru Patimpus Sembiring Pelawi dan istrinya membuka kawasan hutan di antara Sungai Deli dan Sungai Babura yang kemudian menjadi Kampung Medan sebagai negeri Sepulu Dua Kuta dan tanggal kejadian tersebut sesuai dengan almanak Karo Wari si telupuluh jatuh pada Nggara 10 Paka 5 Paka Bulung Bulung La Terpan Wari Janggut Janggut Kalak Kati dan Barang Berharga Raja Raja yang menurut perhitungan tahun Masehi jatuh pada tanggal 1 Juli 1590, yang hingga kini diperingati sebagai hari jadi kota Medan.
Selanjutnya pasca kerajaan Aru atau Haru, di wilayah Medan saat ini pernah berdiri Kerajaan Karo yang terbagi menjadi 4 Raja Urung.
Ke 4 Kerajaan itu adalah Kerajaan Sepulu Dua Kuta dengan Rajanya Sembiring Pelawi, Raja Senembah dengan Merga Barus, Sukapiring dengan Rajanya Merga Sembiring Pelawi dan Karo Sekali Sukapiring serta kerajaan Sunggal dengan Raja Merga Karo Karo Surbakti.
Selanjutnya, seorang pemuka Aceh bernama Muhammad Dalik berhasil menjadi laksamana dalam Kesultanan Aceh. Nuhammad Dalik, yang kemudian juga dikenal sebagai Gocah Pahlawan dan bergelar Laksamana Khuja Bintan adalah keturunan dari Amir Muhammad Badar ud-din Khan, seorang bangsawan dari Delhi, India yang menikahi seorang Putri anak Raja Urung Sunggal Nang Baluan Beru Surbakti.
Gocah Pahlawan kemudian berhasil membujuk ke 4 Raja Raja urung Karo untuk mendirikan Kesultanan Deli yang masih di bawah Kesultanan Aceh pada tahun 1632. Setelah Dalik meninggal pada tahun 1653, putranya Tuanku Panglima Perunggit mengambil alih kekuasaan dan tahun 1669 serta umumkan memisahkan kerajaannya dari Aceh.
Pada tahun 1858, Tanah Deli menjadi milik Belanda setelah Sultan Siak, Sultan Al-Sayyid Sharif Ismail, menyerahkan tanah kekuasaannya tersebut kepada mereka.
Pada tahun 1861, Kesultanan Deli secara resmi diakui merdeka dari Siak maupun Aceh. Hal ini menyebabkan Sultan Deli bebas untuk memberikan hak-hak lahan kepada Belanda maupun perusahaan-perusahaan luar negeri lainnya.
Sumatra Timur atau Sumatra Utara saat ini, memiliki sejarah panjang tentang perkebunan khususnya tembakau. Masyarakat Karo dan Melayu di sini sudah menanam tembakau sebelum kedatangan orang Barat ke wilayah ini. Selain itu, tembakau yang dihasilkan oleh masyarakat Deli sudah diekspor ke Penang.
Di mulai sejak kedatangan Jacobus Nienhyus kemudian didirikannya Deli Maatchappij olehnya tahun 1869, kawasan ini terkenal sebagai perkebunan penghasil tembakau dengan kualitas sangat baik yang dikenal dengan sebutan “Tembakau Deli”.
Pada masa ini Kesultanan Deli berkembang pesat. Perkembangannya dapat terlihat dari semakin kayanya pihak kesultanan berkat usaha perkebunan, terutamanya tembakau, dan lain-lain.
Selain itu, beberapa bangunan peninggalan Kesultanan Deli juga menjadi bukti perkembangan daerah ini pada masa itu, misalnya Istana Maimun dan Masjid Raya Medan.
Tembakau Deli merupakan komoditas unggul yang sangat bernilai jual di dunia internasional saat itu. Kemajuan perkebunan tembakau Deli berawal pada tahun 1862 ketika perusahaan Belanda, JF van Leuween, mengirimkan ekspedisi ke Tanah Deli yang kala itu diwakili oleh Jacobus Nienhuys.
Setelah mendapat konsesi tanah dari Sultan Mahmud Al Rasyid, Neinhuys menanam tembakau di Tanjung Spasi. Kali ini usahanya berasil, contoh daun tembakau hasil panen yang dikirim ke Rotterdam diakui sebagai tembakau bermutu tinggi.
Sejak itulah, tembakau Deli yang bibitnya diperkirakan berasal dari Decatur County, Georgia, Amerika Serikat menjadi terkenal.
Deli Maatschappij, perusahaan perkebunan yang didirikan oleh Jacobus Neinhuys, P.W. Jenssen, dan Jacob Theodore Cremer, pada tahun 1870 telah berhasil mengekspor tembakau sedikitnya 207 kilogram.
Pada tahun 1883 perusahaan ini mengekspor tembakau Deli hampir 3,5 juta kilogram, dan ditaksir nilai kekayaan perusahaan ini mencapai 32 juta gulden pada tahun 1890.
Puncaknya pada awal abad ke-20 ketika Deli Maatschappij tampil sebagai "raja tembakau Deli". Diperkirakan lebih 92 % impor tembakau cerutu Amerika Serikat berasal dari Kesultanan Deli.
Perkembangan perkebunan membuat Deli Maatschappij memerlukan pekerja. Sementara itu jumlah penduduk lokal Karo dan Melayu masih sedikit dan kurang berminat bekerja di bidang perkebunan apalagi menjadi kuli.
Seperti yang dituliskan oleh Tengku Luckman Sinar dalam bukunya, dijelaskan bahwa "kuli-kuli perkebunan itu umumnya orang-orang Tionghoa yang didatangkan dari Jawa, Tiongkok, Singapura, atau Malaysia, dimana disebutkan dalam catatan berbahasa Belanda bahwa “Belanda menganggap orang-orang Karo dan Melayu malas serta melawan sehingga tidak dapat dijadikan kuli”
Deli Maatschappij pun mendatangkan kuli kontrak dari China, Pulau Jawa dan India. Para kuli didapat dari agen di Penang dan Singapura.
Namun, di awal kedatangannya, ratusan kuli kontrak yang baru didatangkan dari China meninggal karena penyakit. "Pada 1869-1870, terdapat 217 kuli China yang baru didatangkan meninggal," kata sejarawan Belanda, Dirk A Buiskool beberapa waktu lalu.
Untuk mengatasi kekurangan tenaga kerja ini para pengusaha perkebunan harus mencari dan mendatangkan tenaga kerja dari luar Sumatra Timur.
Mereka ada yang didatangkan dari China, India dan dari Jawa. Para tenaga kerja ini didatangkan dengan berbagai cara dan pengurusannya dilaksanakan oleh beberapa biro pencari tenaga kerja.
Namun, tidak semua etnis Tionghoa datang ke Medan untuk menjadi kuli kontrak. Ada juga yang merantau ke Deli dengan mengandalkan kemampuan dan keahliannya berdagang, seperti Tjong A Fie, yang di kemudian hari menjadi seorang taipan.
Kedatangan pekerja kontrak asal China, Jawa, dan India ini juga membuat komposisi penduduk Medan berubah. Warga Tionghoa bahkan sempat dominan di kota ini.
Hasil volkstelling atau sensus 1930, etnis Tionghoa merupakan kelompok terbesar di Kota Medan. Jumlahnya tertinggi dibanding etnis lain atau mencapai 35,6 persen dari keseluruhan penduduk. Mereka bahkan mengalahkan etnis Jawa, yang umumnya juga kuli kontrak.
Sejak tahun 1910 kota Medan berkembang semakin pesat. Berbagai fasilitas dibangun. Beberapa di antaranya adalah Kantor Stasiun Percobaan AVROS di Kampung Baru (1919), sekarang RISPA, hubungan Kereta Api Pangkalan Brandan - Besitang (1919), Konsulat Amerika (1919), Sekolah Guru Indonesia di Jl. H.M. Yamin sekarang (1923), Mingguan Soematra (1924), Perkumpulan Renang Medan (1924), Pusat Pasar, R.S. Elizabeth, Klinik Sakit Mata dan Lapangan Olah Raga Kebun Bunga (1929).
Secara historis perkembangan Kota Medan, sejak awal telah memposisikan menjadi pusat perdagangan (ekspor-impor) sejak masa lalu. sedang dijadikannya medan sebagai ibu kota deli juga telah menjadikannya Kota Medan berkembang menjadi pusat pemerintah. sampai saat ini di samping merupakan salah satu daerah kota, juga sekaligus sebagai ibu kota Propinsi Sumatera Utara.
Semoga catatan sejarah ini bisa menginspirasi tokoh dan sesepuh kita, Mayor Jenderal Purn TNI Musa Bangun yang saat ini kita sangat harapkan bisa menjadi tokoh pemersatu dan Bapa kerina kita kalak Karo, Tambar Malem Mergana...
Simbaba kalak Karo ku tengah...
Oleh : Analgin Ginting Agustus 01, 2024
Catatan : Roy Fachraby Ginting
Dosen Universitas Sumatera Utara