Nini Ribu dan wasiatnya...
"...In the land of change, Breath becomes the Wind, Flesh becomes Soil, Blood becomes water, Bone becomes Stone and the Soul becomes Spirit..."
Di pertengahan abad ke-20, ketika memeluk Agama sesuai perindang undangan menjadi wajib di negrinya, nini Ribu gusar akan kehidupan setelah kematiannya kelak. Ia yang masih meyakini dan menjalankan ajaran leluhurnya mulai terusik keimanannya.
Anak anak nini Ribu yang telah bersekolah di sekolah negri wajib belajar salah satu Agama yang diakui di negrinya. Sedangkan ajaran leluhurnya tak masuk kurikulum sekolah negri. Anak anaknya kini sudah memilih agamanya masing masing. Anak tertua berkeyakinan pada ajaran Hindu, anak kedua mengikuti ajaran Katolik, anak ketiga memeluk Kristen Protestan, dan anak ke empat menganut ajaran Islam.
Tahun berganti, zaman berubah, abad akan berakhir, berpuluh tahun nini Ribu masih berkeyakinan pada ajaran leluhurnya tentang berketuhanan. Sebuah ajaran agama kini berkembang pesat di kampungnya. Hampir setengah penduduk desa menjadi umatnya. Anak anaknya sering mengajakya ikut ibadah, untuk belajar katanya. Walau bukan keyakinannya nini Ribu ikut saja. Dia mendengar diajarkan bahwa surga ada bagi pemeluk agama-Nya. Nini Ribu ikut saja, "erlajar me labo salah" pikirnya.
Kini usia nini Ribu semakin tua, dia dihadapkan pada pilihan agama anak anaknya. Di penghujung usia dia masih gusar akan kehidupan setelah kematiannya kelak, keyakinannya masih sama seperti yang dingatnya dari ajaran leluhurnya. Dia pun menulis surat wasiat untuk anak anaknya.
"Adi banci nakku, bicara nggo keri pagi kesahku. Ula aku adati bagi adat agamandu. Mbiar aku adi masuk surga agamandu aku, la kari kutandai ise pe jah, la kari ku angka cakap bas surga agamandu, mbiar aku mampa pagi tendiku i surga agamandu.
Adatilah pagi aku bagi adat si nggo i dalanken nini niningku, nini ninindu, gelah ku taneh kesalihen nini nininta pagi perdalanen tendiku, gelah jumpa aku ras nini ningku si perlebe, i jah pagi la mampa tendingku.
Ula pagi kam lupa ya nakku.
Sai mara, Mejuah juah"
Begitu isi wasiatnya.
Dia pun menutup mata, karena hari sudah gelab dan dia menyiapkan jiwanya menuju negri kesalihen seperti para leluhurnya.
Nb: cerpen ini terinspirasi dari kisah nyata nenek Ribu di desa Perbesi yang melakukan upacara 'Nggalari utang adat' sebelum meninggal dunia.
334. Mejuahjuah, Perbesi, 21.8.2024
Oleh : Bayak Lua Kami