Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Misteri Gertak Lau Biang Taneh Karo



Masyarakat di tanah Karo pasti sudah tidak asing lagi dengan Gertak Lau Biang. Gertak dalam bahasa Indonesia berarti Jembatan.

Pasalnya jembatan Lau Biang di Tanah Karo kental dengan keangkeran dan misteri yang terkandung di dalamnya.

Jika ditanyakan pendapat warga setempat tentang Jembatan Lau Biang yang ada di Kabanjahe, Tanah Karo, dengan perasaan bergidik mereka akan menjawab dengan cerita mistisnya yang berkembang.

Jembatan Lau biang ini sudah terkenal sejak dulu, bahkan sejak zaman revolusi Belanda yang menyisakan cerita penuh kepahitan.

Dilansir harianhaluan.com dari kanal YouTube Aron Arts pada 28 Agustus 2023, Penamaan Lau Biang diambil dari Bahasa Karo.

Lau Artinya Air atau sungai, sedangkan kata Biang diartikan sebagai anjing.

Konon, penamaan Lau biang diambil dari cerita seorang nenek moyang bermarga Sembiring keturunan India.

Nenek ini dikejar-kejar musuhnya dan kemudian menyelamatkan diri dengan menceburkan diri ke sebuah sungai.

Ia hampir tenggelam, tetapi kemudian ada seekor anjing yang menyelamatkannya dan membawanya ke seberang.

Dari sini, sungai ini pun diberi nama Lau Biang, begitupun jembatan yang berdiri di atasnya.

Dari cerita ini pula marga sembiring keturunan India yang disebut Sembiring Singombak pantang untuk memakan daging anjing.

Mulai saat itu pula Sembiring Singombak meyakini bahwa Lau Biang merupakan sungai suci.

Dahulu, Kampung Seberaya, Kecamatan Tigapanah merupakan pusat kebudayaan dari Sembiring Singombak.

Setiap 32 tahun sekali, selalu diadakan perayaan besar bernama Kerja Mbelin Paka Waluh di kampung tersebut.

Perayaan ini dirayakan oleh Sembiring Singombak yang pada masa itu masih memeluk agama Perbegu atau Pemena yang masih terkait dengan Agama Hindu dari India.

Terdapat sebuah kepercayaan pada saat itu tentang upacara suci pembakaran mayat dan abunya dihanyutkan ke sungai Lau Biang.

Konon, akan membawa abu tersebut ke lautan luas dan bertemu sungai Gangga di India.

Perayaan ini dilaksanakan oleh sub marga Sembiring Singombak secara bersamaan dalam upacara yang dikenal dengan Kerja Mbelin Paka Waluh.

Mereka semua berkumpul di Kampung Seberaya dan menyiapkan perahu-perahu yang kemudian dinaiki oleh setiap sub marga untuk menyusuri sungai Lau Biang.

Jembatan Lau Biang sendiri menghubungkan kampung Batukarang, Negeri, dan Singgamanik. Jembatan ini juga menjadi saksi bisu adanya penindasan di Tanah Karo

Diawali pada 15 September 1904, Kiras Bangun atau Pa Garamata bersama dengan laskar-laskarnya menghancurkan jembatan ini supaya Belanda tidak bisa masuk ke tempat persembunyian di Singgamanik.

Pada masa taktik Bumi hangus kampung-kampung di Tanah Karo saat agresi Belanda pada 25 November 1947.

Anak-anak kampung Batukarang dan kampung lainnya menyebrangi jembatan Lau Biang yang terbuat dari kayu untuk mengungsi.

Setelah itu, jembatan dengan Jarak dari puncak tebing ke sungai mencapai 30 meter ini dibangun kembali.

Menurut Cerita yang beredar pembangunan jembatan tersebut menumbalkan dua kepala anak-anak.

Konon kepala tersebut digunakan sebagai penyangga dari jembatan agar bertahan lama.

Hal itu terbukti dari jembatan tersebut masih bertahan kokoh dan belum tampak akan roboh.

Di zaman revolusi ketika Belanda angkat kaki dari Tanah Karo, jembatan ini menjadi saksi bisu adanya eksekusi besar-besaran.

Khusunya terhadap mereka yang dituduh sebagai antek belanda termasuk Sibayak dan raja Urung.

Menurut saksi sejarah dari Batukarang, Jembatan Lau Biang bahkan dijadikan tempat tujuan oleh beberapa daerah untuk pengeksekusian antek-antek Belanda.

Mereka dibunuh dengan cara yang biadab, ada yang dipasung, dibunuh atau langsung dibuang begitu saja.

Pengeksekusian biasanya dilakukan pada dini hari, dan korban langsung diangkut oleh truk-truk kemudian dibuang ke sungai Lau Biang dengan arus yang deras.

Di masa pendudukan Belanda, mereka bahkan pernah merekayasa jembatan Lau Biang dengan menutupnya menggunakan tumbuhan dan pohon.

Lalu membuat jalan terusan ke arah jalan yang salah. Sehingga truk-truk Belanda akhirnya salah jalan dan terjatuh ke sungai.

Tidak ada yang bisa memastikan ada berapa banyak orang yang sudah meninggal di Lau Biang.

Menurut kabar burung, jika air sungai Lau Biang berwarna jernih mungkin akan bisa melihat seberapa banyak kerangka mobil yang pernah jatuh.

Terkenal angker, Lau Biang kini dijadikan sebagai tempat untuk bunuh diri. Kebanyakan orang yang bunuh diri di sana dikarenakan stress.

Bahkan pernah ada seorang Bulang dari Singgamanik yang mengakhiri hidupnya di Lau Biang karena stress dengan kehidupan keluarganya.

Lau Biang juga pernah menjadi tempat pembuangan mayat di zaman PKI. Seseorang yang jatuh ke Lau Biang sudah dipastikan tak akan kembali.

Untuk mencari mayatnya akan membutuhkan beberapa hari. Jika tidak mengapung di sekitar situ, makan secepatnya pergi ke Desa Perbesi karena biasanya akan mengapung di sana.

Itulah alasan beberapa masa pernah orang Perbesi tak mau mandi atau mengambil air dari Lau Biang yang mengaliri kampungnya.

Jika hendak melewati jembatan Lau Biang, supir kendaraan disarankan untuk membunyikan klakson terlebih dahulu sebagai ungkapan permisi kepada penunggu.

Pasalnya, jika tidak permisi akan terjadi keanehan-keanehan seperti kendaraan tiba-tiba mati.

Jembatan Lau Biang ini juga jarang dilintasi ketika malam hari. Menurut cerita yang beredar, berbagai penampakan biasanya muncul saat malam hari.

Jembatan Lau Biang tentu sudah menjadi fenomena tersendiri bagi masyarakat di Tanah karo.

Berbagai cerita mewarnai fenomena ini, terpenting adalah selalu berhati-hati dan menjaga sikap.***