Kerajaan Haru atau Aru, Kerajaan Karo Terbesar Pada Jamannya
Catatan : Roy Fachraby Ginting SH M.Kn
Ketika berbicara sejarah Medan dan peran Guru Pa Timpus Sembiring Pelawi sebagai pendiri Kuta Medan, maka kita tentu juga harus berbicara tentang Kerajaan Haru atau Aru yang merupakan sebuah kerajaan besar yang pernah berdiri di wilayah pantai timur Sumatera Utara saat ini.
Lima abad lalu, pelaut Portugis Tome Pires menggambarkan penguasa negeri Kerajaan Haru atau Aru sebagai raja paling besar di seluruh Sumatra. Ia memiliki banyak penduduk dan lanchara (kapal). Ia juga menguasai banyak aliran sungai di wilayahnya.
Raja kerajaan Haru atau Aru merupakan seorang Karo yang tinggal di istana di hutan atau pedalaman. Tanah di sekitarnya di penuhi semak belukar dan berawa-rawa, sehingga para musuh mereka sulit untuk menembus benteng pertahanan mereka.
Kerajaan Haru atau Aru adalah penghasil beras kualitas baik, buah-buahan dan hasil ternak melimpah, serta segala rupa hasil hutan, seperti kamper, kemenyan, rotan, dan madu.
Jika Teluk Haru atau Aru di Selat Malaka sekarang bisa dikaitkan dengan wilayah Kerajaan Aru pada masa lalu, maka kondisi geografis itu mendukungnya menjadi pemain penting dalam perniagaan di Selat Malaka.
Nama kerajaan ini dituturkan dalam Pararaton (1336) dalam teks Jawa Pertengahan (terkenal dengan Sumpah Palapa) yang berbunyi:
“Sira Gajah Mada pepatih amungkubumi tan ayun amukti palapa, sira Gajah Mada: Lamun huwus kalah nusantara ingsun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seram, Tañjungpura, ring Haru, ring Pahang, Dompu, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana ingsun amukti palapa”
Dalam bahasa Indonesia artinya :
“Beliau, Gajah Mada sebagai patih Amangkubumi tidak mau melepaskan puasa, Gajah Mada berucap bahwa bila telah mengalahkan (menguasai) Nusantara, aku (baru akan) melepaskan puasa, bila telah mengalahkan Gurun, Seram, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, demikianlah aku (baru akan) melepaskan puasa.
Sebaliknya tidak tercatat lagi dalam Kakawin Nagarakretagama (1365) sebagai negara bawahan sebagaimana tertulis dalam pupuh 13 paragraf 1 dan 2.
Sementara itu dalam Suma Oriental, di tuturkan bahwa kerajaan ini merupakan kerajaan yang kuat.
Kerajaan Haru atau Aru merupakan penguasa Terbesar di Sumatera yang memiliki wilayah kekuasaan yang luas dan memiliki pelabuhan yang ramai dikunjungi oleh kapal-kapal asing.
Dalam laporannya, Tomé Pires juga mendeskripsikan kehebatan armada kapal laut kerajaan Aru yang mampu melaksanakan dan melakukan pengontrolan lalu lintas kapal-kapal yang menempuh Selat Melaka pada masa itu.
Dalam Sulalatus Salatin, kerajaan Haru disebut sebagai kerajaan yang setara kebesarannya dengan Malaka dan Pasai.
Sampai saat ini masih terdapat perdebatan tentang lokasi tepatnya dari pusat Kerajaan Haru.
Winstedt meletaknya di wilayah Deli yang berdiri kemudian, namun benar pula yang berpendapat Haru berpusat di muara Sungai Panai.
Groeneveldt menegaskan lokasi Kerajaan Aru berada kira-kira di muara Sungai Barumun (Padang Lawas) dan Gilles mencetuskan di dekat Belawan.
Sementara benar juga yang mencetuskan lokasi Kerajaan Aru berada di muara Sungai Wampu (Teluk Haru/Langkat).
Dalam perjalanan Marco Polo pada tahun 1292 Kerajaan Aru tidak dituturkan, diindikasikan hal benar 8 (delapan) kerajaan di Pulau Sumatera yang seluruh masyarakatnya penyembah berhala.
Lawatan ini bertepatan dengan pembentukan negara-negara pelabuhan Islam pertama.
Beberapa kerajaan yang dituturkan Ferlec (Perlak), Fansur (Barus), Basman (Peusangan) di kawasan Bireuen sekarang, Samudera (kemudian dikenal Pasai) dan Dagroian (Pidie).
Tiga kerajaan lainnya tidak dituturkan. Sumber lain menambahkan Lambri (Lamuri) dan Battas (Batak).
Haru pertama kali muncul dalam kronik Cina masa Dinasti Yuan, yang menyebutkan Kublai Khan menuntut tunduknya penguasa Haru pada Cina pada 1282, yang ditanggapi dengan pengiriman upeti oleh saudara penguasa Haru pada 1295.
Islam masuk ke kerajaan Haru paling tidak pada masa seratus tahun ke-13.
Probabilitas Haru semakin dahulu memeluk agama Islam daripada Pasai, seperti yang dituturkan Sulalatus Salatin dan dikonfirmasi oleh Tome Pires.
Sementara peduduknya sedang belum semua memeluk Islam, sebagaimana dalam catatan d'Albuquerque (Afonso de Albuquerque) (Commentarios, 1511, BabXVIII) dinyatakan bahwa penguasa kerajaan-kerajaan kecil di Sumatera proses Utara dan Sultan Malaka biasa memiliki orang kanibal sebagai algojo dari sebuah negeri yang bernama Aru.
Demikian juga dalam catatan Mendes Pinto (1539), dinyatakan hal benar warga 'Aru' di pesisir Timur Laut Sumatera dan mengunjungi rajanya yang muslim, sekitar dua puluh tahun sebelumnya, Duarte Barbosa sudah mencatat tentang kerajaan Aru yang ketika itu direbut oleh orang-orang kanibal penganut paganisme.
Namun tidak ditemukan pernyataan kanibalisme dalam sumber-sumber Tionghoa masa waktu seratus tahun itu.
Terdapat indikasi bahwa masyarakat asli Haru berasal dari suku Karo, seperti nama-nama pembesar Haru dalam Sulalatus Salatin yang mengandung nama dan marga Karo.
Pada masa seratus tahun ke-15 Sejarah Dinasti Ming menyebutkan bahwa "Su-lu-tang Husin", penguasa Haru, mengirimkan upeti pada Cina tahun 1411.
Setahun kemudian Haru dikunjungi oleh armada Admiral Cheng Ho. Pada 1431 Cheng Ho kembali mengirimkan hadiah pada raja Haru, namun ketika itu Haru tidak lagi membayar upeti pada Cina.
Pada masa ini Haru menjadi saingan Kesultanan Malaka sebagai daya maritim di Selat Malaka.
Konflik kedua kerajaan ini dideskripsikan benar oleh Tome Pires dalam Suma Oriental maupun dalam Sejarah Melayu.
Pada masa seratus tahun ke-16 Haru merupakan salah satu daya penting di Selat Malaka, selain Pasai, Portugal yang pada 1511 menguasai Malaka, serta bekas Kesultanan Malaka yang memindahkan ibukotanya ke Bintan.
Kerajaan Haru menjalin hubungan benar dengan Portugal, dan dengan bantuan mereka Haru menyerbu Pasai pada 1526 dan membantai ribuan masyarakatnya.
Hubungan Haru dengan Bintan semakin mesra daripada sebelumnya, dan Sultan Mahmud Syah menikahkan putrinya dengan raja Haru, Sultan Husain.
Setelah Portugal mengusir Sultan Mahmud Syah dari Bintan pada 1526 Haru menjadi salah satu negara terkuat di Selat Malaka.
Namun ambisi Haru dihempang oleh munculnya Aceh yang mulai menanjak. Catatan Portugal menyebutkan dua serangan Aceh pada 1539, dan sekitar masa itu raja Haru Sultan Ali Boncar terbunuh oleh pasukan Aceh.
Istrinya, ratu Haru, kemudian menanti bantuan benar pada Portugal di Malaka maupun pada Johor (yang merupakan penerus Kesultanan Malaka dan Bintan).
Armada Johor menghancurkan armada Aceh di Haru pada 1540.
Aceh kembali menaklukkan Haru pada 1564. Sekali lagi Haru berkat bantuan Johor sukses mendapatkan kemerdekaannya, seperti yang dicatat oleh Hikayat Aceh dan sumber-sumber Eropa.
Wilayah kerajaan Haru kemudian mendapatkan kemerdekaannya dari Aceh pada 1669, dengan nama Kesultanan Deli.
Sampai terjadi sebuah pertentangan dalam pergantian kekuasaan pada tahun 1720 mengakibatkan pecahnya Deli dan diwujudkannya Kesultanan Serdang pada tahun 1723.
Dalam berbagai catatan sejarah, Raja Haru dan masyarakatnya telah memeluk agama Islam, sebagaimana dituturkan dalam Yingyai Shenglan (1416), karya Ma Huan yang ikut mendampingi Admiral Cheng Ho dalam pengembaraannya.
Dalam Hikayat Raja-raja Pasai dan Sejarah Melayu dituturkan kerajaan tersebut diislamkan oleh Nakhoda Ismail dan Fakir Muhammad, yang juga mengislamkan Merah Silu, Raja Samudera Pasai pada pertengahan masa seratus tahun ke-13.
Sumber-sumber Cina menyebutkan bahwa aturan sejak dahulu kala istiadat seperti perkawinan, aturan sejak dahulu kala penguburan jenazah, bahasa, pertukangan, dan hasil bumi Haru sama dengan Melaka, Samudera dan Jawa.
Mata pencaharian masyarakatnya adalah menangkap ikan di pantai dan bercocok tanam. Tetapi karena tanah negeri itu tidak begitu sesuai untuk penanaman padi, maka sebagian masyarakatnya berkebun menanam kelapa, pisang dan mencari hasil hutan seperti kemenyan.
Mereka juga berternak unggas, bebek, kambing. Sebagian masyarakatnya juga sudah mengonsumsi susu. Apabila pergi ke hutan mereka membawa panah beracun untuk perlindungan diri.
Wanita dan laki-laki menutupi sebagian tubuh mereka dengan kain. Hasil-hasil bumi mereka di barter dengan barang-barang dari pedagang asing seperti keramik, kain sutera, manik-manik dan sebagainya (Groeneveldt, 1960: 94-96)
Berkaitan dengan penguasa kerajaan Haru, tidak dapat dipisahkan dengan peran lembaga Raja Berempat, yang menurut Peret (2010) telah benar sebelum pengaruh Aceh.
Raja Urung di pesisir ini meliputi Urung Sunggal. Urung Sepulu Dua Kuta, Urung Sukapiring dan Urung Senembah, yang masing-masing berkaitan dengan Raja Urung di dataran tinggi (Karo), yakni Urung Telu Kuru merga Karo-Karo), Urung XII Kuta (merga Karo-Karo), Urung Sukapiring (merga Karo-Karo) dan Urung VII Kuta (merga Barus).
Dalam kesempatan berikut, Raja Berempat ini memerankan dalam penentuan yang dipersiapkan menjadi pengganti Sultan di Deli/Serdang, dengan menempakan Datuk Sunggal sebagai Ulun Janji.
Tulisan ini merupakan catatan dan kutipan berbagai tulisan yang ada untuk di sarikan menjadi sebuah tulisan dalam memperkenalkan informasi tentang keberadaan kerajaan Haru yang pernah ada dalam sejarah kerajaan di nusantara.
Daftar Pustaka
^ a b Mangkudimedja, R.M., 1979, Serat Pararaton. Alih aksara dan alih bahasa Hardjana HP. Jakarta: Departemen P dan K, Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah.
^ Terjemahan Lengkap Naskah Kakawin Nagarakretagama, dari blog World History Note, historynote.wordpress.com
^ Cortesão, Armando, (1944), The Suma Oriental of Tomé Pires, London: Hakluyt Society, 2 vols
^ a b c d e f A Note on Aru and Kota Cina (Part 1)
^ a b c d Kota Rantang dan Hubungannya Dengan Kerajaan Aru[pranala nonaktif], salinan di http://pussisunimed.wordpress.com/2010/06/26/kota-rantang-dan-hubungannya-dengan-kerajaan-aru/
^ Reid, Anthony (Penyusun),(2010). "Sumatera Tempo Doeloe, dari Marco Polo sampai Tan Malaka". Komunitas Bambu
^ http://id.wikipedia.org/wiki/Marco_Polo
^ Munoz, P.M. (2009) "Kerajaan-kerajaan Awal Kepulauan Indonesia dan Semenanjung Malaysia". Mitra Tidak berkesudahan
^ Pinto (1645) dalam Perret, D.(2010), Kolonialisme dan Etnisitas". KPG
^ Perret, D (2010)Kolonialisme dan Etnisitas". KPG
^ http://delitua.blogspot.com/2010/12/delitua-1292-m-1642-m-691-h-1051-h.html
^ Lombard. 2008. "Kerajaan Aceh". Masa waktu seratus tahun Sultan Iskandar Muda (1607-1636). KPG
^ http://www.kerajaannusantara.com/id/kesultanan-serdang/article/119-Adat-Kontrak-Sosial-Antara-Raja-Dan-Rakyat-Kesultanan-Serdang
^ a b A Note on Aru and Kota Cina (Part 2)
^ Perret, D (2010). Kolonialisme dan Etnisitas". KPG
^ Perret, D (2010). Kolonialisme dan Etnisitas". KPG