Retret BUKAN motif Cecak apalagi Kadal
Foto : Karosatuklik |
Kemarin kita membicarakan perbedaan Etnografi dengan Etnologi atau teoritisasi sejarah dan budaya. Kali ini, saya mengajak kita memahami perbedaan antara Writing Culture dan Creating Culture.
Terkait dengan Kebudayaan, Antropolog tugasnya adalah menggambarkan satu atau beberapa kebudayaan (sebagaimana di dalam Etnografi) dan kemudian menafsirkan/ menganalisisnya secara teoritik dalam konteks Single-Culture Study maupun Cross-cultural Study, Culture Area Study atau dalam konteks Field of Anthropological Study (FAS).
Namun, masalahnya, banyak ilmuwan maupun awam yang menggunakan hasil analisis teoritik tanpa sadar sebagai data mentah. Misalnya, banyak penulis mengatakan motif RETRET di dinding rumah adat Karo sebagai CIKCAK sehingga partisipan dari budaya itu sendiri dan bahkan ada tukang yang juga mengatakan itu adalah cikcak-cikcakna.😀
Kalau kita telusuri di dalam khasanah Budaya Karo sendiri, sama sekali tidak ada relevansinya cecak. Lalu, mereka katakan cecak melindungi rumah dari serangan nyamuk.
Memang, cecak melindungi rumah dari serangan nyamuk. Tapi, apakah itu relevan dengan kondisi Dataran Tinggi Karo terutama Karo Julu seperti Berastagi sekitarnya yang berada pada ketinggian 1.300 meter DPL alias tidak ada nyamuk?
Rumah adat Karo punya kolong (teruh karang) sehingga penghuninya tinggal di jabu yang berada di ketinggian lebih dari 1,5 meter dari tanah. Nyamuk tidak akan mampu terbang hingga ketinggian seperti itu karena sayapnya terlalu kecil.
Logisnya, rumah-rumah Melayu yang berkepentingan melawan nyamuk, karena berada di daerah pantai dan rawa-rawa. Tapi justru mereka tidak tertarik sama sekali dengan motif cecak. Untuk menghindari nyamuk, mereka dulunya membangun rumah-rumah panggung yang kolongnya sangat tinggi. Di sore hari menjelang malam, mereka membakar sesuatu di kolong rumah agar nyamuk tidak mendekat.
Itulah yang kita katakan Creating Culture, menciptakan sebuah kebudayaan untuk berlaku di masyarakat tertentu. Dari tidak ada menjadi ada.😀
Apa hubungannyta dengan KBB?
Ketika saya telusuri literatur, saya temukan kalau inspirasi Retret adalah motif cecak berasal dari literatur sebelumnya yang mengatakan motif di rumah adat Batak itu adalah cecak. Saya telusuri lebih lanjut lagi, kiranya literatur Batak itu terinspirasi oleh tulisan arkeolog Von Heine-Geldren yang mengatakan dalam Bahasa Inggris kalau motif itu adalah reptil, motif yang tersebar di Asia Tenggara.
Bagi sebagian orang, reptile yang bisa lengket di dinding hanyalah cecak. Maka itu disebut cecak. Padahal, di belakang hari, orang-orang Batak sendiri mulai menyadari kalau itu bukan cecak tapi melainkan kadal (ilik).
Ada 2 poin penting dalam kasus di atas ;
👉Satu, telah terjadi Creating Culture (melebihi Writing Culture).
👉Dua, atas asumsi bahwa Karo adalah Batak, maka budaya hasil Cocokologi pada Suku Batak diterapkan "harus" berlaku juga pada Suku Karo.
Poin ke dua di atas terkait pula dengan asumsi bahwa orang-orang Karo adalah orang-orang Batak yang bermigrasi ke daerah Karo sekarang ini. Oleh karena itu, pikir mereka, Kebudayaan Karo terlahir dari Kebudayaan Batak.
Benarkah begitu?
Menurut penemuan Balai Arkeologi Aceh dan Sumut, ternyata nenek moyang orang Karo sama dengan nenek moyang orang Gayo yang telah mendiami Pulau Sumatera lebih dari 7 ribu tahun lalu. Sementara nenek moyang orang Batak tidak lebih dari seribu tahun lalu menginjakan kaki di Pulau Sumatra.
Jadi, terbantah kalau Kebudayaan Batak adalah arche-type dari Kebudayaan Karo.
Arche-type adalah seperti lapisan tanah yang warnanya berbeda sehingga kita bisa identifikasi dari jaman apa sebuah fosil ditemukan. Psikolog Carl Jung muridnya Sigmund Freud menerapkan teori Geologi dan Arkeologi ini ke dalam Psikoanalysis (teorinya Sigmund Freud) dimana manusia punya rekaman-rekaman trauma di dalam jiwanya sejak masa kanak-kanak.
Kadang trauma itu muncul lewat mimpi, tapi kadang menjadi penyebab kegilaan terutama Schizophrenia atau Double Personality.
Sebagian Antropolog menerapkan pula Arche-type dari Jung ke dalam Kebudayaan, terutama para penganut Evolusionisme.
Masalanya adalah, terlalu kuat asumsi bahwa Karo adalah Batak dalam artian dulu nenek moyangnya adalah orang-orang Batak yang merantau ke Tanah Karo. Dengan begitu, diasumsikan pula kalau di Kebudayaan Karo itu ada lapisan lebih rendah yang sama dengan Kebudayaan orang-orang Batak [Toba]. Ini membuat sebagian ilmuwan maupun pengamat Karo yang berasal dari Karo ataupun bukan Karo terlalu getol membandingkan Karo dengan Batak doang.
Padahal, banyak sekali persamaan antara Karo dan Batak hanyalah bagian dari persamaan-persamaan antara suku-suku yang berbahasa Austronesia. Kita ambil saja contoh kecilnya, kata Mbiring dalam Bahasa Karo yang disebut Birong dalam Bahasa Batak.
Kalau membatasi diri pada "Rumpun Batak" doang, maka kita bisa yakin sekali kalau Karo adalah bagian Batak. Tapi, bagaimana dengan fakta bahwa di dalam Bahasa Jawa disebut Ireng?
Apakah karena Jawa adalah juga bagian Batak sebagaimana orang-orang Batak mengatakan Ratu Pantai Selatan berasal dari Batak bernama Si Biding Laut?
Andiko ..... andiko. Seh kal kam tatamna, arih!
Bahaya terbesar yang hendak dicegah dan dicegat oleh Pasukan KBB adalah menurunkan tafsir (Creating Culture) menjadi Data lapangan dan the so-called data lapangan dijadikan bukti bahwa Karo adalah Batak.
Contoh konkritnya, Rakut Sitelu yang merupakan hasil teoritisasi kaum nasionalis di tahun 1930an dijadikan bukti bahwa Karo adalah juga Batak (sama-sama menganut Dalihan Na Tolu) padahal tidak ada Rakut Sitelu di dalam dunia praktek peradatan Karo maupun kehidupan sehari-hari.
Salam manis untuk Nini Rambit.
Oleh : Juara R. Ginting