Beda URUNG tidak lagi berhubungan SEMBUYAK, tapi SENINA
Lestarikan Rumah Adat Siwaluh Jabu, Arsitektur UI adakan Ekskursi 2023: Tanah Karo Foto : Fakultas Teknik UI |
Paling tidak hinga di generasi orangtua saya, perbedaan sembuyak dengan senina masih sangat penting dan nyata (tidak teori-teorian).
Percakapan saya dengan ayah di bawah ini akan menghantarkan pemahaman kita bagaimana nyata di kehidupan praktek perbedaan sembuyak dengan senina.
AnakBeru--Senina yang dikirim pihak laki-laki melamar seorang perempuan menjadi istri (nungkuni), akan diterima oleh AnakBeru--Senina pihak perempuan dengan acara ertutur.
Kata ayah, kalau orang yang mengaku Senina dari pihak laki-laki itu dianggap masih bisa berhubungan Sembuyak dengan pihak laki-laki, maka AnakBeru--Senina dari pihak perempuan tidak akan menerimanya.
"Dalam Nungkuni, Senina yang dikirim oleh pihak laki-laki haruslah seseorang yang tidak mungkin menjadi Sembuyak dari pihak laki-laki," kata ayah yang kelahiran Tahun 1935 dan kawin dengan ibu pada tahun 1962.
Bagi pembaca yang merasa ayahnya segenerasi dengan ayah saya, silahkan memeriksa di keluarganya masing-masing siapakah yang biasa menjadi AnakBeru--Senina di keluargandu masing-masing.
Kemungkinan masih berlaku untuk perkawinanndu sendiri sehingga kam mengenal orangnya yang menjadi Senina Ku Ranan (Senina dalam percakapan adat) di dalam keluargandu.
Sebenarnya tidak hanya dalam melamar perkawinan, banyak acara adat Karo diawali dengan runggu AnakBeru--Senina: Mengket Rumah, Nurun-nurun, dan lain-lain.
Saya mengingatkan segenerasi dengan ayah saya karena kemungkinan besar apa yang dikatakan oleh ayah saya itu sudah tergerus saat ini. Sudah saya periksa sendiri di lapangan dan hasilnya apa yang dijelaskan oleh ayah saya itu benar untuk generasinya.
Juga pernah saya pertanyakan di media sosial (yahoogroups dan facebook) dan hasilnya banyak orang tersadar bahwa memang Biak Senina Ku Ranan Mereka adalah seseorang yang memang dari Clan yang sama tapi subclannya berbeda.
Ada yang mengatakan dianya merga Tarigan Silangit, Senina Ku Ranan di keluarga mereka adalah sesama Tarigan tapi bukan Silangit.
Sebatas data seperti di atas, kiranya pernyataan Masri Singarimbun di desertasinya (1975) menarik dicermati bahwa perbedaan Senina dengan Sembuyak sejalan dengan perbedaan antara Clan (contoh Tarigan) dan Subclan (contoh Tarigan Silangit dengan Tarigan lain yang bukan Silangit).
Hanya saja, sebagaimana sudah saya ingatkan di Bagian 5, nama merga-merga yang didaftar di bawah masing-masing clan itu tidak semuanya mewakili sebuah subclan. Selain itu, masih ada yang beda nama merganya tapi dinyatakan berhubungan sembuyak.
Misalnya, seseorang yang menyandang nama belakang Ketaren, bisa jadi tidak diterima sebagai Biak Senina dari seseorang yang merga Purba dari Kaban Jahe. Ada ceritanya mengapa sebagian Ketaren dianggap sama dengan Purba Kaban Jahe.
Itu pulalah mengapa acara ertutur di masa lalu dianggap sebagai ajang menarik yang sekarang ini dianggap sudah terlalu bertele-tele.
Selingan😀
Ilmuwan sosial Karo sendiri umumnya berhenti pada soal bertele-tele ini tanpa berusaha mendalami apa sih sebenarnya yang dicari dengan ertutur bertele-tele itu.
Itulah masalahnya membaca kepustakaan untuk diterapkan di dunia praktek, bukannya sebaliknya dengan memahami dunia praktek untuk dituliskan secara sistimatis dan semakin mudah dimengerti di kepustakaan.
Masri Singarimbun sendiri melakukan hal itu saat mengatakan perbedaan Senina dengan Sembuyak sejalan dengan perbedaan Clan dengan Subclan. Dia sama sekali tidak menuntaskan merga-merga mana saja yang masih merupakan subclan yang sama walaupun berbeda nama.
Dia juga tidak membedah kasus-kasus adanya nama belakang yang sama, tapi terdiri dari dua subclan berbeda.
Saya tunjukan dua kasus dengan nama merga yang sama tapi anggotanya berhubungan senina. Saya berhadapan dengan kasus ini saat mendata merga-merga apa saja yang mendirikan masing-masing kampung (simantek kuta).
Dari lapangan juga saya membuat teori sementara bahwa sebuah kampung Karo didirikan bersama oleh 4 merga yang berhubungan: Sembuyak, Anak Beru, Kalimbubu, dan Senina. Dari lapangan juga saya membuat teori sementara lainnya bahwa Senina adalah seperti yang dijelaskan oleh ayah saya di atas.
Para informan saya di Dokan (Kecamatan Merek, Kabupaten Karo), mengatakan Dokan didirikan oleh Ginting Munte (Sembuyak) bersama Tarigan Tendang (Anak Beru), Karo-karo Sitepu (Kalimbubu) dan Ginting Munte lainnya (Senina).
"Mengapa Senina dari merga yang sama dengan Sembuyak?" Tanyaku.
Para informan menjelaskan kalau mereka berasal dari dua urung yang berbeda. Munte yang menjadi Sembuyak berasal dari Urung Sipitu Kuta Ajinembah sedangkan Munte yang Senina dari Urung Sipitu Kuta Tengging.
"Kalau berbeda urung tidak lagi berhubungan Sembuyak, tapi Senina," kata mereka.
Demikian juga saya hadapi di Kuta Mbelin (Liang Melas Gugung). Sembuyak dan Senina sama-sama dari merga Sembiring Kembaren. Ketika saya mempertanyakan "kok bisa dari merga yang sama", mereka menjawab kalau yang Senina adalah Kembaren dari Jahe.
Kembaren dari Jahe maksud mereka adalah Kembaren yang berada di wilayah Urung Bahorok (Langkat) yang sudah lain dengan Urung Liang Melas (Karo Gugung).
Sejak itulah saya menyadari betapa pentingnya URUNG di dalam hubungan ELEMENTER Masyarakat Karo. Saya tidak percaya Masri Singarimbun tidak mengenal Urung. Pada mulanya saya heran mengapa tidak ada satu kata pun Urung muncul di dalam desertasinya maupun tulisan-tulisan lainnya.
Nantinya saya mengerti kalau kata Urung adalah mengerikan baginya pribadi. Ayahnya adalah korban Revolusi Sosial sementara kaum revolusioner Karo menuduh Urung adalah ciptaan kolonial Belanda.
Dengan kata lain, dia menempatkan dirinya tidak bertentangan dengan tuduhan kaum revolusioner agar tidak disebut anti revolusi meski ayahnya dibunuh oleh kaum revolusi.
Bisa dikatakan, saya adalah orang Karo pertama yang mengenalkan kembali Urung ke orang-orang Karo generasi muda. Saya bisa merasa bebas dari riwayat konflik ini karena keluarga kami bukan dari kaum revolusioner dan juga bukan korban revolusi.
Menurut saya, Urung sudah ada dan sudah sangat penting sejak Prekolonial. Arkeolog E.E. McKinnon mengatakan Urung adalah kosa kata dari India Selatan yang sudah dikenal sejak lama di Karo.
Urung bisa dibandingkan dengan Partuanon di Simalungun, Huria di Mandailing, dan Bius di Batak.
Batak Samosir mengenal juga kata Horong (dari penelitian lapangan saya di sana), tapi kiranya tidak dikenal di Kepustakaan Batak sejak Kolonial hingga sekarang.
Para peneliti asing lebih memfokus ke Bius karena wilayahnya sekaligus merupakan kesatuan sosial religius dengan adanya Horja Bius yang dipimpin oleh Parbaringin (Raja Nawalu) didampingi para istri mereka yang disebut Parsanggul Naganjang.
Pemerintah kolonial menetapkan Bius sebagai wilayah adminitrasi pemerintahan tapi melarang Horja Bius atas desakan para missionaris Jerman (RMG) khususnya Nomensen. Lagipula kekuatan politik Sisingamangaraja 12 adalah pada Parbaringin ini dimana dia menempatkan dirinya berada di atas Raja Nawalu.
Karena itu pula Sitor Situmorang menulis kalau Sisingamangaraja 12 bukanlah seorang Raja tapi melainkan Pendeta dalam arti pemimpin religius.
Salah satu manifestasi Horja Bius yang hidup kembali di desa-desa Batak Samosir adalah pengorbanan seekor kerbau melalui acara Borotan (saya menghadirinya beberapa kali).
Hilangnya pengetahuan tentang Urung di Karo membuat hilangnya makna merga sebagai kesatuan wilayah (taneh) dan beralih kepada teori garis keturunan semata.
Mari kita tinjau sejenak para Kembaren di Urung Bahorok (Langkat). Mereka diasumsikan berasal dari Urung Liang Melas. Tapi, sebagaimana diaplikasikan oleh Kuta Mbelin, Kembaren Gugung (Liang Melas) dan Kembaren Jahe (Bahorok) berhubungan Senina, bukan lagi Sembuyak.
Ini FAKTA yang memperlihatkan TEORI GARIS KETURUNAN Gugur pada tingkat realitas tertentu.
Fakta itu juga menunjukan bahwa hubungan Sembuyak (yang ditelusuri lewat garis keturunan ayah alias patrilineal) tidak lebih daripada sebatas wilayah urung. Tidak heran kalau orang-orang Karo mampu menelusuri garis keturunan patrilinealnya tidak lebih daripada 7 generasi.
Sebabnya, keluar dari batas urung yang ditemukan hanya LEGENDE dan legenda pun banyak versinya. Dan, tidak semua pula merga punya legende seperti itu.
Misalnya saja, ada legenda Sinulingga berasal dari Lingga Raja (dipublikasi oleh P. Tamboen, 1952), ada juga versinya yang mengatakan berasal dari Nodi (dalam legenda Kelenglengen Nodi) dan ada juga dari Gayo sehingga ada Lingga Gayo.
Nama Urung Telu Kuru (kuru adalah kosa kata Gayo) yang beribu negeri di Lingga, mengendapkan hubungan sembuyak antara Sinulingga, Surbakti, dan Kacaribu. Tapi, dalam banyak kasus, Sinulingga dan Surbakti berhubungan Senina. Bahkan, Sinulingga dengan Sinulingga di Bintang Meriah ada yang berhubungan Senina.
Demikian juga Kaban yang dikatakan masih sembuyak dengan Telu Kuru ini di Bintang Meriah berhubungan Senina dan mereka berbeda Kesain. Kaban di Kesain Jahe sementara Sinulingga di Kesain Julu.
Data-data yang rumit di atas tidak akan pernah dijamah oleh para ilmuwan sosial maupun orang-orang yang mengaku tokoh adat Karo. Soalnya, hanya saya yang berani menjamah bola panas ini, bisa dimaki-maki oleh para tokoh adat maupun orang-orang Karo yang merasa kepentingan pribadinya terganggu.
Mengolah data menjadi fakta merupakan pekerjaan yang tidak mudah. Dibutuhkan data sebanyak-banyaknya serta pendalaman teoritik tingkat tinggi. Kalau sadar ini bukan pekerjaan mudah, mari kita kerjakan bersama-sama atau setidaknya menjadi supporter. Bukan tukang maki-maki dan mengejek-ejek.
Kembali ke kata Urung, orang-orang Karo sudah terbiasa dari dulu mencari silsilahnya hanya sebatas hubungan Sembuyak. Di tahun 1980an ada banyak yang mencoba membuat terombonya dengan mencari tempatnya sampai ke Siraja Batak.
Hasilnya?
Semua gagal dan gugur. Bagi lau mambur ku kersik. Termakan Hoax Siraja Batak yang mengklaim legenda sepihak sebagai fakta sejarah. Padahal proses menjadikan legenda ke sejarah itu sendiri belum bisa dipertanggunjawabkan secara ilmiah.
Buktinya, Karo dikatakan berasal dari Batak, sementara para arkeolog menemukan Karo jauh lebih tua dari Batak.
Itulah akibatnya bila pengetahuan dari saudara sesuku dianggap rendah sedangkan hoax dari luar langsung terpincut.
Oleh : Juara R. Ginting