Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Bahasa KARO dan BATAK sama-sama Berinduk di Bahasa MELAYU

Petani Jeruk Berastagi (Karo)

PERANGKAP TEORI BUDAYA
By: Juara Rimantha Ginting
 
Obrolan saya kali ini mengajak kita kembali sejenak ke sebuah perdebatan di grup ini beberapa tahun lalu berkenaan dengan KBB (Karo Bukan Batak). Persoalannya begini, seseorang mengatakan bahwa Batak itu bukan suku tapi melainkan rumpun. Jadi, menurutnya Bahasa Karo adalah sub Bahasa Batak. Lalu, saya katakan, persamaan antara Bahasa Batak dengan Bahasa Karo bukan karena Karo bagian dari Batak tapi karena sama-sama berinduk di Bahasa Melayu.

Saya tambahkan,
terutama di dalam nomenclature (tata nama) konstruksi tradisional, lebih banyak istilah-istilah Karo yang sama/ mirip dengan istilah-istilah Melayu daripada Batak [Toba].

Dia menuntut saya memberi contoh persamaan/ kemiripan nomenclature Karo dengan nomenclature Melayu yang tidak terdapat di nomenclature arsitektur Batak. Saya sebutkan seperti istilah-istilah ini: bubungen, tunjuk langit, palas (dari kata alas yang artinya fundasi/ dasar), binangun (dari kata bangun), sendi, sangka manuk (sangka[r]= sarang + manuk = burung), pasuk (dari kata asuk, pasok), tekang (tekan), perampu (dari kata ampu), papan, ijuk, karang, rusuk, jangka, raris (aris menjadi baris) dan lain-lain.

Saya tekankan lagi bahwa semua istilah di atas tidak dikenal di Bahasa Batak apalagi di arsitektur tradisional mereka.

Reaksinya adalah bahwa kata-kata itu masuk ke Karo bukan dari peristilahan Melayu, tapi dari Bahasa Indonesia.

Susah melanjutkan perdebatan dengannya karena dia tidak akan pernah bisa membuktikan bahwa itu ada resapan/ pengaruh Bahasa Indonesia kecuali sekedar dugaan. Dugaannya itupun sama sekali tidak beralasan. 

Kita ambil saja contoh istilah TUNJUK LANGIT, yaitu tiang penopang atap. Tidak ada dalam nomenclature "arsitektur Indonesia" yang namanya tunjuk langit walaupun kedua kata tunjuk dan langit ada dalam perbendaharaan Bahasa Indonesia. Mengapa orang-orang Karo menggunakan kata-kata Indonesia untuk menyebut bagian konstruksi rumahnya sedangkan itu tidak dikenal di dalam Bahasa Indonesia? Tidak logis, bukan?

Kita pindah sebentar
ke kata BUBUNGEN. Kata ini ada di dalam nomenclature arsitektur Indonesia, yaitu BUBUNGAN. Istilah ini terdapat di dalam banyak suku-suku di Indonesia yang merujuk ke bagian puncak atap yang datar, seperti di dalam atap berpentuk limas yang disebut Bubung Lima dalam nomenclature arsitektur Indonesia. 

Menurut beberapa pakar linguistik, bubungan berasal dari Bahasa Austronesia yang tersebar di seluruh Asia Tenggara, Madagaskar, Taiwan, sebagian Papua, dan juga Hawai serta bagian paling Selatan dari Afrika Selatan.

Sangat tidak beralasan mengatakan kata bubungen di Karo berasal dari Bahasa Indonesia. Kata ini tidak didapati di nomenclature arsitektur Batak [Toba], tapi ada di nomenclature arsitektur Austronesia.

Kata dasarnya BUNG yang bervariasi menjadi AMBUNG, LAMBUNG, MEMBUBUNG. Kata AMBEK dalam Bahasa Karo juga bisa ditelusuri ke kata ini melalui kata AMBUNG, AMBENG dan kemudian menjadi AMBEK (seperti dalam kata AMBEKKEN).

Mengapa orang-orang bisa dengan mudahnya menduga kata-kata itu berasal dari Bahasa Indonesia?
Ini asumsi dasar mereka, bahwa Karo sebagai sebuah kelompok sosial memiliki kebudayan/ bahasa dengan mewarisi kebudayaan/ bahasa yang lebih tua dan atas pengaruh/ diffusi dari kebudayaan luar.

Asumsi ini diarahkan kepada pembenaran bahwa Karo adalah bagian Batak dan tidak punya hubungan kultural dengan Melayu. Padahal, menurut para ahli linguistik pun, Bahasa Batak adalah bagian dari Bahasa Melayu dan Bahasa Melayu adalah bagian dari Bahasa Austronesia.

Kalaupun betul Karo adalah bagian Batak, kan tidak aneh kalau di dalam Bahasa Karo terdapat banyak perbendaharaan kata Melayu. Ada yang aneh sampai di sini? Yang aneh adalah bahwa arsitektur Batak sangat berbeda dengan arsitektur Karo. Anehnya lagi, nomenclature arsitektur Karo jauh lebih banyak bisa kita telusuri ke Bahasa Melayu daripada ke Bahasa Batak. 

Misalnya saja BONGGAR, loteng tempat pemusik (pargossi) bermain (para penari di halaman rumah), tidak ada sama sekali di konstruksi rumah adat Karo.
 
Rumah Karo punya 2 pintu (jahe dan julu) yang dihubungkan oleh labah atau dalen lau atau disebut juga anak lau yang tidak ada di konstruksi rumah Batak. Di Karo ada 2 lantainya, satu disebut papan dan yang di bawahnya teruh papan (ingat lagu Bagi Gundur Teruh Papan). Di Batak lantainya hanya satu.

Di Batak
konstruksi tiangnya hanya jenis RASSANG, sedangkan di Karo ada 3; Pasuk, Sangka Manuk, dan Sendi. Di Simalungun, setiap rumahnya di bagi ke dalam 2 ruangan, yang satunya ditopang konstruksi balok-balok bertingkat mirip sangka manuk Karo, dan satunya lagi tiang-tiang mirip pasuk Karo. Tidak ada konstruksi sendi di Simalungun. Konstruksi tiang rumah Pakpak mirip dengan Sendi Karo.

Dalam proses ilmiah positip, semua teori harus berdasarkan data/ fakta, bukan sebaliknya data/ fakta diciptakan atau dipaksakan untuk membenarkan teori yang sudah ada. Kalau ada data/fakta baru meruntuhkan teori lama, itu wajar-wajar saja dalam proses ilmiah.

Adakah yang bisa menghadirkan data/ faktanya bahwa istilah TUNJUK LANGIT dalam nomenclature arsitektur Karo berasal dari perbendaharaan Bahasa Indonesia? Saya bisa membuktikan bahwa kata TUNJUK LANGIT adalah Bahasa Karo asli. 

Begini,Variant dari TUNJUK LANGIT adalah JUKJUK LANGIT. Jukjuk dalam Bahasa Karo adalah jolok dalam Bahasa Indonesia. Mengapa tidak pernah dipakai JOLOK LANGIT? Tunjuk berasal dari kata UNJUK yang bervariasi menjadi JUKJUK dan TUNJUK. Kata UNJUKEN (mas kawin) juga berasal dari sini yang di Minangkabau disebut MERUNJUK (melamar perkawinan).
 
Bila kam menyadari di kosmologi Karo bahwa TENDI seorang anak itu berasal dari langit (kontak antara embun dan cahaya matahari) maka kam cepat bisa mengerti mengapa tiang atap Karo yang menunjuk ke langit itu disebut TUNJUK LANGIT atau JUKJUK LANGIT.

Perkawinan adalah sebuah rangkaian dari NJUKJUK LANGIT. (walaupun sekarang sering dibuat menjadi JUKJUK LANGIT-LANGIT)