Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Raja Karo dengan Kerajaan Aceh: Hubungan Kultural dan Spiritual yang Terjalin Erat

Raja Karo dengan Kerajaan Aceh

Adri Istambul Lingga Gayo mengenakan pakaian kebesarannya. Setelan jas warna gelap dengan dasi merah melengkapi bulang-bulang (penutup kepala), beka bulu (kain segitiga penutup pundak belakang), dan selempang yang berwarna senada. Hari itu, Kamis pertama Juni ini, Adri menjadi penggagas sekaligus pemimpin upacara ngampeken tulan-tulan bagi leluhurnya, Raja Senina Lingga.

Merupakan keturunan langsung (golongan sembuyak) Raja Senina Lingga, Adri berasal dari kalangan bangsawan Sibayak Lingga generasi kedelapan. Dia adalah keturunan langsung dari Sibayak Lingga Raja Kin, salah satu dari lima putra Raja Senina Lingga. Menurut pemaparan Adri dalam upacara ngampeken tulan-tulan, Raja Senina Lingga dalam hidupnya menikahi sepuluh istri dan memiliki sepuluh anak: lima perempuan dan lima laki-laki.

Raja Karo dengan Kerajaan Aceh

Kelima putranya adalah Sibayak Lingga Sebanaman, Sibayak Lingga Ahad, Sibayak Lingga Raja Kin, Sibayak Lingga Mbisa, dan Sibayak Lingga Umbat.

Detail riwayat hidup para leluhur masyarakat Karo tidak terdokumentasi dengan baik. Buktinya, Adri tidak bisa menyebutkan kelahiran ataupiun kematian Raja Senina Lingga dan keturunannya dengan pasti. Raja Senina Lingga disebut wafat karena uzur pada usia 120 tahun. Sepeninggal sang Raja, Kerajaan Sibayak Lingga—yang istananya, Gerga, berada di Desa Lingga, Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Karo—dipimpin kelima putranya secara bergilir.

Namun kesaktian Raja Senina Lingga sangat kuat membekas dalam kenangan Adri dari cerita-cerita mitologi yang ia dapatkan dari para pendahulunya. Kesaktian Raja Senina Lingga syahdan diwarisi langsung dari ayahnya, Raja Natang Negeri. Raja Natang Negeri adalah salah satu putra dari Raja Linge I dari Kerajaan Linge (Lingga) di Tanah Gayo, Aceh. Kerajaan Linge, seperti disebutkan dalam buku Gajah Putih karangan M Junus Djamil (1959), didirikan orang Batak pada masa Kerajaan Perlak diperintah Sultan Machudum Johan Berdaulat Mahmud Syah abad ke 11.

Raja Linge I memiliki enam anak. Selain anak perempuan dan anak bungsunya, anak-anak Raja Linge I pergi dari istana. Natang Negeri merantau ke Tanah Karo. Ia bermukim di Desa Lingga dan mendirikan Kerajaan Sibayak Lingga. Di usia remaja, ia menikahi tiga gadis: Beru Sebayang, Beru Ginting Rumah Page, dan Beru Tarigan Nagasaribu. Dari Beru Sebayang, lahir seorang putra, Sibayak Lingga (Raja Senina Lingga). Ketika Senina Lingga menjadi penguasa, raja di Kesultanan Aceh, yang merupakan kerabatnya, memberikan pisau Bawar dan bendera bertuliskan kalimat syahadat.

“Sebagai tanda dia saudara dari Sultan Iskandar Muda dan keturunan Raja Linge. Benda pusaka itu masih kami pegang (simpan) sebagai tanda bukti keluarga saya,” ujar Adri.

Dengan pisau Bawar itu, kesaktian Raja Senima Lingga bertambah. Di masa hidupnya, raja itu menjadi pentolan dalam menyerang dan mengusir serdadu Belanda. Dalam adu strategi perang, Raja Senina Lingga tergolong piawai. Menurut cerita turun-temurun yang didengar Adri, sang Raja selalu menggenggam tombak bintang dan menunggangi kuda putih setiap kali memimpin pasukannya bergerilya melawan Belanda. Pertempuran demi pertempuran dilakukan raja itu hingga ke Desa Bintang Meriah dan Kuracane, Aceh.

Raja Senina Lingga meninggal pada usia 120 tahun. Sebelum mangkat, ia berpesan agar dimakamkan di Bukit Ndaholi, Desa Bintang Meriah. Dalam upacara kematiang, yang berlangsung empat hari empat malam, jenazahnya diarak ke seluruh wilayah kekuasaan Kerajaan Sibayak Lingga. Saat menuju tempat pemakaman, kepalanya terpisah dari tubuhnya. Menurut Adri, hal itu terjadi karena kesaktiannya. Tubuhnya dimakamkan di tanah, sedangkan kepalanya disimpan di geriten yang dibangun di atas makamnya.

Hanya, tengkorak Raja Senina Lingga nyaris dibakar dalam sebuah kerusuhan. Menurut Adri, kerusuhan itu dilatari peristiwa revolusi sosial pasca-Proklamasi Kemerdekaan. Kerusuhan itu mengusik makam para raja di Karo. Raja-raja yang dianggap bersekutu dengan Belanda menjadi sasaran amuk revolusi.

“Padahal leluhur kami memerangi Belanda,” ujar Adri. “Saat itu Tanah Karo dibumihanguskan. Oleh kakek saya, kepala (tengkorak) itu dibawa mengungsi ke Kutacane.”

Setelah kondisi membaik, pada 1950-an, kerabat keturunan Raja Senena Lingga kembali ke Desa Bintang Meriah dan menempatkan tengkorak itu di dalam kurung manik. “Kurung manik ini rumah persinggahan. Rumah asli Raja Senina Lingga masih berdiri di Desa Lingga,” kata Adri.

Setelah 63 tahun disimpan di rumah persinggahan, tengkorak berumur 400 tahun itu akhirnya dikembalikan ke geriten-nya di Bukit Ndaholi. Semua keturunannya, dari golongan sembuyak, kalimbubu, dan anak beru, kembali bersatu mengantarkan nini mereka ke tempat peristirahatan yang lebih tinggi.

Kembalinya Sibayak Linge

Raja Karo dengan Kerajaan Aceh

Banyak momen istimewa yang terjadi dalam peristiwa penciptaan rekor Tari Saman 5057 penari tanggal 23 November 2014 lalu.

Salah satunya adalah kehadiran dari Adri Istambul Lingga Gayo, Wakil Ketua Real Estate Indonesia (REI) yang mengaku merupakan keturunan langsung Sibayak Linge, yang di dalam kisah-kisah yang banyak diceritakan di Gayo disebut-sebut sebagai salah seorang anak dari Reje Linge yang menetap di Tanah Karo.

Dalam sambutannya saat akan memulai pertunjukan saman 5057 penari. Bupati Gayo Lues, mengumumkan secara terbuka bahwa Saudara Gayo yang lama hilang, telah kembali. Sembari mempersilahkan Adri Istambul Lingga Gayo, maju ke panggung dan diberikan kain kerawang.

Pada seminar Asal Usul/Gayo yang dibuka keesokan harinya. Adri menunjukkan foto bawar, bendera serta pedang yang menurutnya adalah warisan langsung dari salah satu putra Genali, Alisyah alias Sibayak Linge atau Sibayak Lingga dalam versi Karo (Dalam versi lain dalam syair-syair Gayo, Sibayak Linge adalah cucu dari Genali, putra dari Joharsyah).

Dalam kisah yang biasa diceritakan di Gayo, dikatakan bahwa Sibayak Linge lari ke Karo, karena tidak kuat menanggung malu sebab tak bisa dikhitan, sebab pisau yang digunakan untuk mengkhitan tidak bisa memotong kulitnya. Sementara dalam kisah yang dituturkan oleh Adri, alasan dari larinya Sibayak Lingga adalah karena alasan politis. Sibayak Lingga memutuskan meninggalkan Linge, karena tidak ingin peristiwa dirinya yang tak dapat dikhitan itu dipolitisir untuk menjatuhkan marwah ayahnya.

Dalam sambutannya Adri mengatakan, Karo adalah Gayo, sama-sama keturunan dari Genali yang berasal dari Istanbul.

Adri Istambul Lingga Gayo menegaskan bahwa Gayo berbeda dengan saudara-saudara kita di pesisir.

Moyang kita berasal dari Turki, kita bukan keturunan perompak”, kata Adri dengan berapi-api. Disambut dengan tepuk tangan meriah dari seluruh peserta seminar yang tumpah ruah sampai terpaksa dibangunkan tenda, karena aula balai pertemuan pendopo bupati Gayo Lues yang menjadi tempat pelaksanaan acara tak mampu menampung banyaknya peserta yang begitu antusias mengikuti acara ini.

Dalam kesempatan ini, Adri Istambul Lingga Gayo juga menyinggung hasil penelitian DNA yang terkait dengan penemuan arkeologi di Loyang Mendale di bawah pimpinan Ketut Wiradyana yang menunjukkan bahwa suku Gayo dan suku Karo memiliki karakter DNA yang identik.

Artikel disadur dari LintasGayo.com