Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Mengulas Posisi Kata BAH Untuk Menghindarkan Klaim Dari Suku Lain



Di Jawa ada beragam kata yang artinya sungai: Ci, kali, banyu. Di Sumatra juga ada berbagai kata yang bisa diterjemahkan “sungai” ke dalam bahasa Indonesia: Batang (Mandailing), aek (Batak), lae (Pakpak), lawe (Alas), lau (Karo), dan bah (Simalungun dan Karo). Hari ini, saya tertarik membahas kata BAH setelah melihat adanya klaim nama kuta BEKERAH atau BAKERAH di Karo Gugung disebut berasal dari huta BAKKARA (Tapanuli) tempat asal Sisingamangaraja.

Saya hendak menjelaskan bahwa kata Bekerah untuk kuta itu berasal dari BAH KERAH (Sungai Kering), mirip dengan Sungai Krio di Kecamatan Kutalimbaru (Kabupaten Deliserdang) yang kadang disebut juga Lau Keri atau Lau Bakeri yang asalnya BAH KERI (Sungai Habis yang berubah menjadi Sungai Krio).

Saya merasa perlu mengulas posisi kata BAH ini untuk menghindarkan klaim lain dari Simalungun dengan mengatakan bahwa wilayah Karo adalah bagian dari wilayah Simalungun karena kata BAH dianggap semata-mata adalah kata Simalungun (ini pernah terjadi di sebuah grup facebook).

Orang-orang Karo Jahe pernah menggunakan kata BAH untuk menunjuk sungai sebagaimana sampai sekarang masih berlangsung di Simalungun. Sisa-sisanya masih dapat dilihat di dalam banyak nama sungai di Langkat, Deliserdang dan Medan: Bah Orok (Bahorok), Bah Gerpang (Bagerpang), Bah Kancan (Bekancan), Bah Keri (Bakeri atau Bekeri), Bah Burah (Babura), Bah Lume (Belume).

Kata BAH ini dapat kita telusuri ke perbendaharaan bahasa Melayu yang artinya sungai besar (ingat air bah yang artinya banjir besar). Di Karo Timur, sungai besar biasa disebut LAU MBELIN sedangkan di Karo Barat kadang disebut juga LAU BATANG (ingat kata “batang” di Mandailing).

Kombinasi kata “lau” dan “bah” menjadi “labah” di Karo Timur untuk menunjuk jalan lintas di rumah adat yang menghubungkan pintun jahe dengan pintun julu. Di Karo Jahe (khususnya Deliserdang) kata “labah” dipakai untuk menyebut pintu. “Talangi labah ena,” berarti “bukalah pintu itu”.

Saya meyakini kata “labah” berasal dari “lau bah” yang artinya sama dengan “lau mbelin” atau “lau batang” karena jalan lintas di rumah adat itu disebut “dalen lau” atau “anak lau” di Karo Barat.

Demikian saya buatkan ulasan ini agar kita dapat melindungi diri dari klaim-klaim “asing” atas kebudayaan kita. Seperti halnya klaim Batak bahwa nama desa Karo Bekerah berasal dari Bakkara padahal dari Bah Kerah. Selanjutnya mereka mengklaim pula Guru Patimpus Sembiring Pelawi keturunan Sisingamangaraja I (Padahal Sisingamangaraja I, II, III, dst, adalah a new invention).

Oleh : Juara R Ginting (SoraSirulo.com)