Mbaru Br Ginting, Pejuang Wanita Asal Desa Lambar
Para pejuang wanita ini sempat mendapat didikan dari Jepang dan disebut SINDO dan menyanyikan lagu patriotik militer wanita Jepang berjudul Aikoku Koshin Kyoku. Namun para wanita SINDO ini berjuang mempertahankan Indonesia tanpa mendapatkan dana pensiun sama sekali.
Mbaru Br Ginting (97) seorang veteran perang yang tidak pernah mendapatkan gelar sebagai pejuang padahal Ia adalah satu dari sekian orang yang berjuang di garda depan bersama Djamin Ginting, pahlawan nasional Indonesia dari Tanah Karo, Sumatera Utara.
“Saya tidak mengerti kenapa saya tidak mendapat pensiunan veteran. Yang dapat justru yang lebih muda yang tidak pernah turun ke medan perang. Teman-teman saya yang berjuang di hutan Desa Sarinembah hingga ke Manuk Mulia dan Kutambaru tidak dapat gelar sama sekali,” ujar Nenek Mbaru saat berbincang dengan Redaksi The Editor beberapa waktu lalu.
Mbaru lahir di Desa Lambar, Kecamatan Tigapanah, Kabupaten Karo dari ayah yang bernama Naktaki Ginting dan Roncah Br Karo.
Anak ke-4 dari 6 bersaudara ini telah melalui jaman mengungsi yang sangat menyakitkan akibat penjajahan.
“Kami para Srikandi saat itu tidak mengenal panas dan hujan. Kami mengurus perbekalan para tentara saat itu dengan cara meminta beras kepada seluruh penduduk kampung. Setiap rumah memberi beras seadanya, kadang hanya satu gantang atau dua gantang atau satu tumba. Tanpa paksaan,” ungkapnya.
Berpindah dari satu tempat ke tempat lain diakui Mbaru sudah jadi kebiasaan yang harus Ia jalani sejak kecil.
Selama mengungsi Ia sudah terbiasa membangun lahan pertanian dan rumah si waluh jabu bersama keluarga.
“Dulu kalau harus pindah ke dalam hutan aku bertugas langsung membuka lahan pertanian untuk menanam kentang,” ujar Mbaru tertawa mengenang masa lalunya.
Mbaru yang kini tinggal di Desa Salit, yang letaknya cukup jauh dari desa tempat Ia lahir hidup seorang diri.
Ia tidak ingin tinggal dengan anaknya karena Ia sangat suka hidup mandiri. Tubuhnya masih tegap dan kuat berjalan jauh. Ia mengaku sangat bahagia dengan kehidupan yang Ia jalani.
Ia mengisahkan perjalanannya sebagai seorang tentara wanita saat berumur belasan tahun, Mbaru yang baru berumur 13 tahun ternyata sudah maju ke baris depan medan pertempuran.
Kata Mbaru, Ia dan tentara wanita yang maju di baris depan medan pertempuran diberi nama SINDO.
Para SINDO ini juga bertugas membuka jalan bagi tentara nasional Indonesia (TNI) dengan cara membuka jalur lintas bagi mereka.
Sebelum nama SINDO dipakai, Mbaru mengungkapkan bila para pejuang wanita asal Desa Lambar dan Sukadame ini disebut Srikandi.
“Khusus perempuan, dulu kami namanya Srikandi makanya adik perempuan saya yang bungsu kami namakan Srikandi,” ungkap Mbaru.
--Namun setelah Jepang masuk Indonesia, namanya diubah menjadi SINDO. Apa itu Sindo?
“Termasuk merawat yang sakit dan menyediakan makanan bagi TNI,” kata Mbaru lagi.
Saat itu, lanjutnya, Ia diizinkan bergabung dengan SINDO karena abangnya bernama Suman adalah Kepala Divisi Sindo Tanah Karo.
Padahal ayahnya sendiri tidak pernah mengizinkan Ia bergabung dengan mereka.
“Dia (Bapak) melarang keras tapi saat itu Kepala Divisi SINDO Tanah Karo adalah abang saya sendiri bernama Suman. Itu yang jadi kepala yang membawahi kami semua,” katanya.
“Iya, Semua pemuda – pemudi dari desa kami dulu jadi anggota karena saat itu tidak ada lagi tentara yang tersisa karena sudah tewas semua,” ungkap Mbaru.
Perjuangan Mbaru sebagai SINDO membawanya hingga ke pertempuran di Desa Sarinembah dan Desa Manuk Mulia.
Ia tidak ingat tahun berapa Ia ditempatkan di posko pengamanan dua desa tersebut.
Namun, yang Ia ingat adalah saat itu Indonesia seharusnya sudah masuk dalam kategori aman namun entah mengapa tiba-tiba terjadi lagi perang.
“Waktu itu seharusnya sudah bisa pulang tapi kami putuskan untuk tetap disana,” kata Mbaru.
Ia mengatakan sejarah seharusnya mengetahui nama SINDO karena saat abangnya menjabat sebagai Kepala SINDO, 16 orang perempuan resmi jadi anggota mereka.
Dan anggota-anggota tersebut berasal dari desa Lambar dan desa Sukadame yang berdekatan.
“Ada 16 orang wanita yang tergabung dalam Sindo waktu itu. Teman saya ada namanya Nande (Panggilan untuk ibu-ibu di Tanah Karo) Sinar,” katanya.
16 orang perempuan itu, lanjutnya, bergabung sebagai SINDO selama 2 tahun dan turun ke medan perang sebagai garda depan.
Kata Mbaru, saat itu Belanda dan Jepang tengah berperang sengit. Dan Ia sangat heran saat itu karena saat Jepang kalah berperang melawan Belanda, SINDO justru ternyata diminta maju untuk melawan Belanda.
“Jadi saat itu terjadi peperangan antara Belanda, Jepang dan kami. Saat Jepang kalah justru kami harus kembali berperang melawan Belanda. Aku lupa tahun berapa tepatnya,” ungkap Mbaru.
Senjata yang dipakai oleh anggota SINDO saat berperang adalah pedang, bedil dan bom. Perempuan-perempuan ini juga dilatih merakit bom.
“Tarik sumbu yang melekat di bom tersebut dan ketuk kan perlahan ke tanah tiga kali dan lemparkan (ke arah musuh),” tambah Mbaru lagi.
“Kalau ditarik sumbunya maka langsung keluar apinya. Jadi kalau ditahan berbahaya karena (kalau tidak dilemparkan) akan membuat kita mati karena meledak di tangan kita sendiri,” jelas Mbaru.
Latihan yang mereka lalui saat jadi SINDO adalah merangkak hingga tiga kali sampai lulus sambil membawa senjata.
Selain itu para perempuan SINDO juga harus terlatih sempurna memegang dan mengaktifkan bom tangan.
“Kami belajar merangkak hingga tiga kali sampai lulus sambil membawa senjata. Kami membungkuk di tanah dan senjata diletakkan di tangan,” katanya menjelaskan saat dilatih menjadi SINDO.
Kata Mbaru, bom-bom yang dibawa oleh tentara ini diaktifkan oleh para SINDO saat peperangan tengah terjadi di Manuk Mulia Kecamatan Tigapanah, Kabupaten Karo.
Namun tentara ini tidak bisa mengalahkan kecanggihan senjata milik Belanda yang saat datang selalu dibarengi dengan ledakan bom dalam jumlah banyak.
“Suara senjata Belanda itu sangat kencang, bunyinya seperti rrrr rrrr rrrr dan biasanya kedatangan mereka disertai dengan bom dan ledakkan di udara seperti kembang api,” ungkapnya.
Saat ditugaskan sebagai seorang prajurit SINDO, Mbaru ternyata harus belajar bahasa Jepang.
Ia sangat fasih menyanyikan sebuah lagu berbahasa Jepang meski tidak tahu apa artinya.
Redaksi The Editor melakukan investigasi hingga ke Jepang. Atsuro, pria asal Tokyo yang bekerja di industri perfilman memberi tahu bila lagu yang dinyanyikan oleh Mbaru adalah lagu Pawai Patriotik dari Jepang yang berjudul Aikoku Koshin Kyoku.
Dari penuturannya diketahui bila tidak banyak sejarawan asal Indonesia yang berbicara tentang keberadaan lagu ini, begitu juga dengan warga Jepang era modern saat ini.
Namun The Editor melakukan pencarian tentang judul lagu ini di website, dan ternyata cukup mengejutkan.
Karena Aikoku Koshin Kyoku ternyata adalah sebuah lagu patriotik yang diciptakan oleh Jepang di tahun 1940-an khusus untuk pasukan militer wanita.
Pasukan wanita ini umumnya direkrut saat masih muda. Dan lagu itu memang dibuat untuk mengajari patriot Jepang untuk membunuh (Dirilis oleh Japan Times pada tanggal 5 Juli 2015).
Lagu ini diciptakan oleh pemerintah Jepang saat pecah perang ke-2 antara Tiongkok dan Jepang pada September 1937.
Jepang mensponsori kompetisi publik untuk lagu berjudul Aikoku Koshin Kyoku dan hasilnya 57.578 lirik masuk ke meja panitia.
Morikawa, salah seorang kontestan penulis lirik dinyatakan menang. Dan sebagai komposer lagu ini dipilih Tokichi Setoguchi dan dirilis ke publik pada Desember 1937.
--Masih Bersaudara Dan Berperang di Garis Depan Bersama Djamin Ginting
Salah satu pengalaman Mbaru bersama Djamin Ginting adalah saat terjadi perang di Desa Sarinembah.
Saat itu, kata Mbaru, terjadi penyerbuan besar-besaran di Simpang Empat. 16 tentara yang diberangkatkan oleh Mbaru saat itu hanya berbekalkan 6 pucuk senjata.
“Mau bagaimana lagi, jadi kita hanya bertahan dengan bom tangan yang ada saja. Senjata milik Belanda sangat canggih karena bisa menembak hingga jarak jauh,” ungkapnya.
Mbaru dan Djamin Ginting ternyata selalu berada di garis depan. Kata Mbaru, untuk mempertahankan wilayah Kecamatan Tigapanah, seluruh keluarganya turun tangan menjadi tentara, tim kesehatan dan penyedia perbekalan.
Pengalaman lain yang Ia jalani bersama Djamin Ginting adalah saat bertugas di Desa Kuta Mbaru.
Saat itu, Mbaru ternyata mengetahui bila Djamin Ginting mencarinya untuk memastikan keadaannya, sekaligus untuk mengajari tentara cara membuat obat sakit perut (norit) dari tempurung kelapa yang dibakar dan diikuti dengan meletakkan daun binara di atas perut.
Djamin Ginting dari pandangan Mbaru adalah seorang saudara yang sangat perhatian.
Selama bertugas di medan perang, Djamin Ginting menurutnya akan selalu mencari keluarganya yang ikut maju ke medan perang untuk memastikan mereka semua masih hidup dan tidak terluka.
“Ada cerita saat dia datang ke Kutambaru saat kami berada di tengah gunung bersembunyi, tiba-tiba dia datang dan saya tidak kenal karena rambutnya panjang sekali. Ternyata dia mencari saya ke semua tempat,” ungkapnya.
“Dia (Djamin Ginting) ajari kami menggunakan obat-obatan dari alam saat berada di medan pertempuran atau saat mengungsi ke tempat lain. Dan Dia ajari cara menggunakannya. Setelah mengajari kami dia dan pasukannya pergi lagi ke tempat lain,” katanya.
“Dari Kutambaru, Dia (Djamin Ginting) berangkat lagi ke Sarinembah. Dia berangkat dengan adek saya ke Kuta Cane. Disana asal muasal adek saya yang laki-laki menikah dengan orang Kuta Cane,” ungkapnya.
Suatu hari, lanjutnya, Mbaru melihat kaki Djamin Ginting terluka. Sebuah peluru bersarang di kakinya karena bedil panas musuh.
Abang kandung Mbaru yang bertugas sebagai tim kesehatan tentara langsung maju dan dengan sigap mengobati kaki Djamin Ginting.
Seluruh keluarga Nenek Mbaru ikut berpartisipasi ke medan perang tanpa bayaran satu sen pun.
“Saya dan Djamin Ginting berperang bersama. Dia adalah turang (abang laki-laki) Saya. Bapa Rusti saudara saya yang lain juga berperang bersama saya,” katanya.
Bahkan, saat Djamin Ginting dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional pada 7 November 2014 lalu, Mbaru juga diundang datang ke rumahnya di Medan dan ikut mendapatkan kain.
“Saya juga diundang saat Djamin Ginting diangkat jadi pahlawan. Saya juga dapat kain,” jelasnya.
--Sempat Dilatih Sebagai Tentara di Ergaji, Tanah Karo
Saat berperang melawan musuh di Desa Ergaji, lanjut Mbaru, para tentara wanita latihan mengangkat senjata sembari menyanyi. Agar bisa berperang menerobos hutan belantara dengan kaki telanjang.
Mbaru tidak ingat tanggal berapa Ia lahir. Namun yang pasti, katanya, anak pertamanya lahir saat tentara tengah Jepang menyerbu Indonesia.
Saat itu, lanjutnya, banyak sekali tentara Indonesia yang tewas di medan perang karena dari persenjataan saja Indonesia sudah kalah. Bila pun memiliki senjata, itu pun sangat sederhana.
Karena lelahnya mempertahankan kemerdekaan di masa lalu itu, Mbaru mengaku sedih karena tidak dihargai oleh pemerintah Indonesia.
--Tidak Mendapat Dana Pensiun Sebagai Veteran Tentara
Kepedihan hati Mbaru muncul saat pemerintah Indonesia mengumumkan nama-nama orang yang akan mendapat dana pensiun perang.
Ia mendapati ternyata yang mendapatkannya adalah anak muda yang belum pernah turun ke medan perang.
Sementara 16 temannya yang maju ke garis depan bersama Djamin Ginting tidak mendapat apa-apa.
“Abang saya kan Kepala Sindo. Dia juga tidak dapat dapat pensiun karena meninggal cepat. Dan dia meninggal setelah perang usai dan sudah aman. Tapi Dia juga sempat bekerja di kantor camat waktu itu,” ungkap Mbaru.
“Yang mengecewakan adalah saat mereka yang masih muda justru mendapat dana pensiun perang padahal tidak mengetahui apa-apa. Banyak sekali, saya lupa siapa saja. Untuk itu dulu kami datangi kantor koramil dan saat itu saya disuruh nyanyi dan semua anggota yang mendengarnya senang,” katanya lagi.
“Kecewa sekali. Ikut berperang bersama tentara itu sangat melelahkan karena tidak jelas kapan makan dan minum. Harus selalu siaga setiap waktu. Kadang berpikir hendak istirahat sejenak tapi ternyata harus pindah lagi ke daerah lain,” ungkap Mbaru.
--Djamin Ginting Berjanji Akan Ada Yang Mengurus Dana Pensiunnya
Mbaru mengatakan abang-abangnya berjanji akan mengurus dana pensiun yang seharusnya Ia dapatkan, namun seiring waktu berlalu, semua orang yang akan menolongnya, termasuk Djamin Ginting meninggal dunia tak lama usai perang berlalu.
--Tiba-Tiba Dituduh Sebagai PKI
Saat kemerdekaan sudah dalam genggaman, dan Mbaru sudah mulai hidup bersama suami dan anak-anaknya, tiba-tiba Kepala Desa Salit menuduh suami Mbaru sebagai PKI. Tuduhan ini ditujukan kepada pejuang-pejuang yang pernah ikut ke medan perang.
“Kami disebut PKI waktu itu. Jadi saat kami para pejuang disebut PKI maka banyak saudara dan anak saya yang diberhentikan secara paksa dari pekerjaannya. Anak perempuan saya yang paling muda bernama Nelsen diberhentikan,” ungkap Nenek Mbaru.
Suami Mbaru yang berprofesi sebagai guru dan pemusik juga harus berhenti dari pekerjaanya, termasuk anaknya yang paling muda.
Kata Mbaru, suaminya berjanji akan mengurus semua dokumen yang diminta oleh pemerintah untuk mengembalikan nama baiknya.
Sayangnya, keluarga-keluarga yang ikut mengurus administrasi itu ternyata meninggal secara tiba-tiba.
“Iya karena suami saya adalah pemain musik yang biasa manggung ke desa-desa. Tapi oleh kepala desa saat itu suami saya dituduh sebagai anggota PKI,” kata Mbaru.
“Enak saja menuduh seperti itu, kami tidak menerima apa-apa,” katanya lagi.
Tuduhan PKI kepada Mbaru cukup menggelitik untuk diketahui. Pasalnya dari penuturan Mbaru, setiap perayaan 17 Agustus, Mbaru selalu diminta untuk hadir dan menyanyikan lagu-lagu perjuangan Indonesia di masa lampau. Lagu-lagu itu tidak lagi dipakai di masa sekarang ini.
“Setiap tanggal 17 Agustus aku selalu diminta untuk menyanyikan lagu kemerdekaan. Semua lagu yang aku ketahui aku nyanyikan dihadapan para tentara. Jadi beberapa saudara sepupu saya kadang meminta kepada pemerintah setempat untuk bernyanyi lagu perjuangan para Srikandi Indonesia,” ungkap Mbaru.
--Saudara Laki-Lakinya Berjanji Akan Ada Yang Mengurus Dana Pensiunnya
Mbaru mengatakan saudara laki-lakinya berjanji akan mengurus dana pensiun yang seharusnya Ia dapatkan.
Namun seiring waktu berlalu, semua orang yang akan menolongnya, termasuk Djamin Ginting sendiri ternyata meninggal dunia tak lama usai perang berlalu.
Seperti diketahui, Letnan Jenderal Djamin Ginting meninggal dunia pada tanggal 23 Oktober 1974 di Ottawa, Kanada saat ditugaskan oleh Presiden Soeharto.
Sumber the Editor|By Elitha Evinora Br Tarigan
Mbaru lahir di Desa Lambar, Kecamatan Tigapanah, Kabupaten Karo dari ayah yang bernama Naktaki Ginting dan Roncah Br Karo.
Anak ke-4 dari 6 bersaudara ini telah melalui jaman mengungsi yang sangat menyakitkan akibat penjajahan.
“Kami para Srikandi saat itu tidak mengenal panas dan hujan. Kami mengurus perbekalan para tentara saat itu dengan cara meminta beras kepada seluruh penduduk kampung. Setiap rumah memberi beras seadanya, kadang hanya satu gantang atau dua gantang atau satu tumba. Tanpa paksaan,” ungkapnya.
Berpindah dari satu tempat ke tempat lain diakui Mbaru sudah jadi kebiasaan yang harus Ia jalani sejak kecil.
Selama mengungsi Ia sudah terbiasa membangun lahan pertanian dan rumah si waluh jabu bersama keluarga.
“Dulu kalau harus pindah ke dalam hutan aku bertugas langsung membuka lahan pertanian untuk menanam kentang,” ujar Mbaru tertawa mengenang masa lalunya.
Mbaru yang kini tinggal di Desa Salit, yang letaknya cukup jauh dari desa tempat Ia lahir hidup seorang diri.
Ia tidak ingin tinggal dengan anaknya karena Ia sangat suka hidup mandiri. Tubuhnya masih tegap dan kuat berjalan jauh. Ia mengaku sangat bahagia dengan kehidupan yang Ia jalani.
Ia mengisahkan perjalanannya sebagai seorang tentara wanita saat berumur belasan tahun, Mbaru yang baru berumur 13 tahun ternyata sudah maju ke baris depan medan pertempuran.
Kata Mbaru, Ia dan tentara wanita yang maju di baris depan medan pertempuran diberi nama SINDO.
Para SINDO ini juga bertugas membuka jalan bagi tentara nasional Indonesia (TNI) dengan cara membuka jalur lintas bagi mereka.
Sebelum nama SINDO dipakai, Mbaru mengungkapkan bila para pejuang wanita asal Desa Lambar dan Sukadame ini disebut Srikandi.
“Khusus perempuan, dulu kami namanya Srikandi makanya adik perempuan saya yang bungsu kami namakan Srikandi,” ungkap Mbaru.
--Namun setelah Jepang masuk Indonesia, namanya diubah menjadi SINDO. Apa itu Sindo?
“Termasuk merawat yang sakit dan menyediakan makanan bagi TNI,” kata Mbaru lagi.
Saat itu, lanjutnya, Ia diizinkan bergabung dengan SINDO karena abangnya bernama Suman adalah Kepala Divisi Sindo Tanah Karo.
Padahal ayahnya sendiri tidak pernah mengizinkan Ia bergabung dengan mereka.
“Dia (Bapak) melarang keras tapi saat itu Kepala Divisi SINDO Tanah Karo adalah abang saya sendiri bernama Suman. Itu yang jadi kepala yang membawahi kami semua,” katanya.
“Iya, Semua pemuda – pemudi dari desa kami dulu jadi anggota karena saat itu tidak ada lagi tentara yang tersisa karena sudah tewas semua,” ungkap Mbaru.
Perjuangan Mbaru sebagai SINDO membawanya hingga ke pertempuran di Desa Sarinembah dan Desa Manuk Mulia.
Ia tidak ingat tahun berapa Ia ditempatkan di posko pengamanan dua desa tersebut.
Namun, yang Ia ingat adalah saat itu Indonesia seharusnya sudah masuk dalam kategori aman namun entah mengapa tiba-tiba terjadi lagi perang.
“Waktu itu seharusnya sudah bisa pulang tapi kami putuskan untuk tetap disana,” kata Mbaru.
Ia mengatakan sejarah seharusnya mengetahui nama SINDO karena saat abangnya menjabat sebagai Kepala SINDO, 16 orang perempuan resmi jadi anggota mereka.
Dan anggota-anggota tersebut berasal dari desa Lambar dan desa Sukadame yang berdekatan.
“Ada 16 orang wanita yang tergabung dalam Sindo waktu itu. Teman saya ada namanya Nande (Panggilan untuk ibu-ibu di Tanah Karo) Sinar,” katanya.
16 orang perempuan itu, lanjutnya, bergabung sebagai SINDO selama 2 tahun dan turun ke medan perang sebagai garda depan.
Kata Mbaru, saat itu Belanda dan Jepang tengah berperang sengit. Dan Ia sangat heran saat itu karena saat Jepang kalah berperang melawan Belanda, SINDO justru ternyata diminta maju untuk melawan Belanda.
“Jadi saat itu terjadi peperangan antara Belanda, Jepang dan kami. Saat Jepang kalah justru kami harus kembali berperang melawan Belanda. Aku lupa tahun berapa tepatnya,” ungkap Mbaru.
Senjata yang dipakai oleh anggota SINDO saat berperang adalah pedang, bedil dan bom. Perempuan-perempuan ini juga dilatih merakit bom.
“Tarik sumbu yang melekat di bom tersebut dan ketuk kan perlahan ke tanah tiga kali dan lemparkan (ke arah musuh),” tambah Mbaru lagi.
“Kalau ditarik sumbunya maka langsung keluar apinya. Jadi kalau ditahan berbahaya karena (kalau tidak dilemparkan) akan membuat kita mati karena meledak di tangan kita sendiri,” jelas Mbaru.
Latihan yang mereka lalui saat jadi SINDO adalah merangkak hingga tiga kali sampai lulus sambil membawa senjata.
Selain itu para perempuan SINDO juga harus terlatih sempurna memegang dan mengaktifkan bom tangan.
“Kami belajar merangkak hingga tiga kali sampai lulus sambil membawa senjata. Kami membungkuk di tanah dan senjata diletakkan di tangan,” katanya menjelaskan saat dilatih menjadi SINDO.
Kata Mbaru, bom-bom yang dibawa oleh tentara ini diaktifkan oleh para SINDO saat peperangan tengah terjadi di Manuk Mulia Kecamatan Tigapanah, Kabupaten Karo.
Namun tentara ini tidak bisa mengalahkan kecanggihan senjata milik Belanda yang saat datang selalu dibarengi dengan ledakan bom dalam jumlah banyak.
“Suara senjata Belanda itu sangat kencang, bunyinya seperti rrrr rrrr rrrr dan biasanya kedatangan mereka disertai dengan bom dan ledakkan di udara seperti kembang api,” ungkapnya.
Saat ditugaskan sebagai seorang prajurit SINDO, Mbaru ternyata harus belajar bahasa Jepang.
Ia sangat fasih menyanyikan sebuah lagu berbahasa Jepang meski tidak tahu apa artinya.
Redaksi The Editor melakukan investigasi hingga ke Jepang. Atsuro, pria asal Tokyo yang bekerja di industri perfilman memberi tahu bila lagu yang dinyanyikan oleh Mbaru adalah lagu Pawai Patriotik dari Jepang yang berjudul Aikoku Koshin Kyoku.
Dari penuturannya diketahui bila tidak banyak sejarawan asal Indonesia yang berbicara tentang keberadaan lagu ini, begitu juga dengan warga Jepang era modern saat ini.
Namun The Editor melakukan pencarian tentang judul lagu ini di website, dan ternyata cukup mengejutkan.
Karena Aikoku Koshin Kyoku ternyata adalah sebuah lagu patriotik yang diciptakan oleh Jepang di tahun 1940-an khusus untuk pasukan militer wanita.
Pasukan wanita ini umumnya direkrut saat masih muda. Dan lagu itu memang dibuat untuk mengajari patriot Jepang untuk membunuh (Dirilis oleh Japan Times pada tanggal 5 Juli 2015).
Lagu ini diciptakan oleh pemerintah Jepang saat pecah perang ke-2 antara Tiongkok dan Jepang pada September 1937.
Jepang mensponsori kompetisi publik untuk lagu berjudul Aikoku Koshin Kyoku dan hasilnya 57.578 lirik masuk ke meja panitia.
Morikawa, salah seorang kontestan penulis lirik dinyatakan menang. Dan sebagai komposer lagu ini dipilih Tokichi Setoguchi dan dirilis ke publik pada Desember 1937.
--Masih Bersaudara Dan Berperang di Garis Depan Bersama Djamin Ginting
Salah satu pengalaman Mbaru bersama Djamin Ginting adalah saat terjadi perang di Desa Sarinembah.
Saat itu, kata Mbaru, terjadi penyerbuan besar-besaran di Simpang Empat. 16 tentara yang diberangkatkan oleh Mbaru saat itu hanya berbekalkan 6 pucuk senjata.
“Mau bagaimana lagi, jadi kita hanya bertahan dengan bom tangan yang ada saja. Senjata milik Belanda sangat canggih karena bisa menembak hingga jarak jauh,” ungkapnya.
Mbaru dan Djamin Ginting ternyata selalu berada di garis depan. Kata Mbaru, untuk mempertahankan wilayah Kecamatan Tigapanah, seluruh keluarganya turun tangan menjadi tentara, tim kesehatan dan penyedia perbekalan.
Pengalaman lain yang Ia jalani bersama Djamin Ginting adalah saat bertugas di Desa Kuta Mbaru.
Saat itu, Mbaru ternyata mengetahui bila Djamin Ginting mencarinya untuk memastikan keadaannya, sekaligus untuk mengajari tentara cara membuat obat sakit perut (norit) dari tempurung kelapa yang dibakar dan diikuti dengan meletakkan daun binara di atas perut.
Djamin Ginting dari pandangan Mbaru adalah seorang saudara yang sangat perhatian.
Selama bertugas di medan perang, Djamin Ginting menurutnya akan selalu mencari keluarganya yang ikut maju ke medan perang untuk memastikan mereka semua masih hidup dan tidak terluka.
“Ada cerita saat dia datang ke Kutambaru saat kami berada di tengah gunung bersembunyi, tiba-tiba dia datang dan saya tidak kenal karena rambutnya panjang sekali. Ternyata dia mencari saya ke semua tempat,” ungkapnya.
“Dia (Djamin Ginting) ajari kami menggunakan obat-obatan dari alam saat berada di medan pertempuran atau saat mengungsi ke tempat lain. Dan Dia ajari cara menggunakannya. Setelah mengajari kami dia dan pasukannya pergi lagi ke tempat lain,” katanya.
“Dari Kutambaru, Dia (Djamin Ginting) berangkat lagi ke Sarinembah. Dia berangkat dengan adek saya ke Kuta Cane. Disana asal muasal adek saya yang laki-laki menikah dengan orang Kuta Cane,” ungkapnya.
Suatu hari, lanjutnya, Mbaru melihat kaki Djamin Ginting terluka. Sebuah peluru bersarang di kakinya karena bedil panas musuh.
Abang kandung Mbaru yang bertugas sebagai tim kesehatan tentara langsung maju dan dengan sigap mengobati kaki Djamin Ginting.
Seluruh keluarga Nenek Mbaru ikut berpartisipasi ke medan perang tanpa bayaran satu sen pun.
“Saya dan Djamin Ginting berperang bersama. Dia adalah turang (abang laki-laki) Saya. Bapa Rusti saudara saya yang lain juga berperang bersama saya,” katanya.
Bahkan, saat Djamin Ginting dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional pada 7 November 2014 lalu, Mbaru juga diundang datang ke rumahnya di Medan dan ikut mendapatkan kain.
“Saya juga diundang saat Djamin Ginting diangkat jadi pahlawan. Saya juga dapat kain,” jelasnya.
--Sempat Dilatih Sebagai Tentara di Ergaji, Tanah Karo
Saat berperang melawan musuh di Desa Ergaji, lanjut Mbaru, para tentara wanita latihan mengangkat senjata sembari menyanyi. Agar bisa berperang menerobos hutan belantara dengan kaki telanjang.
Mbaru tidak ingat tanggal berapa Ia lahir. Namun yang pasti, katanya, anak pertamanya lahir saat tentara tengah Jepang menyerbu Indonesia.
Saat itu, lanjutnya, banyak sekali tentara Indonesia yang tewas di medan perang karena dari persenjataan saja Indonesia sudah kalah. Bila pun memiliki senjata, itu pun sangat sederhana.
Karena lelahnya mempertahankan kemerdekaan di masa lalu itu, Mbaru mengaku sedih karena tidak dihargai oleh pemerintah Indonesia.
--Tidak Mendapat Dana Pensiun Sebagai Veteran Tentara
Kepedihan hati Mbaru muncul saat pemerintah Indonesia mengumumkan nama-nama orang yang akan mendapat dana pensiun perang.
Ia mendapati ternyata yang mendapatkannya adalah anak muda yang belum pernah turun ke medan perang.
Sementara 16 temannya yang maju ke garis depan bersama Djamin Ginting tidak mendapat apa-apa.
“Abang saya kan Kepala Sindo. Dia juga tidak dapat dapat pensiun karena meninggal cepat. Dan dia meninggal setelah perang usai dan sudah aman. Tapi Dia juga sempat bekerja di kantor camat waktu itu,” ungkap Mbaru.
“Yang mengecewakan adalah saat mereka yang masih muda justru mendapat dana pensiun perang padahal tidak mengetahui apa-apa. Banyak sekali, saya lupa siapa saja. Untuk itu dulu kami datangi kantor koramil dan saat itu saya disuruh nyanyi dan semua anggota yang mendengarnya senang,” katanya lagi.
“Kecewa sekali. Ikut berperang bersama tentara itu sangat melelahkan karena tidak jelas kapan makan dan minum. Harus selalu siaga setiap waktu. Kadang berpikir hendak istirahat sejenak tapi ternyata harus pindah lagi ke daerah lain,” ungkap Mbaru.
--Djamin Ginting Berjanji Akan Ada Yang Mengurus Dana Pensiunnya
Mbaru mengatakan abang-abangnya berjanji akan mengurus dana pensiun yang seharusnya Ia dapatkan, namun seiring waktu berlalu, semua orang yang akan menolongnya, termasuk Djamin Ginting meninggal dunia tak lama usai perang berlalu.
--Tiba-Tiba Dituduh Sebagai PKI
Saat kemerdekaan sudah dalam genggaman, dan Mbaru sudah mulai hidup bersama suami dan anak-anaknya, tiba-tiba Kepala Desa Salit menuduh suami Mbaru sebagai PKI. Tuduhan ini ditujukan kepada pejuang-pejuang yang pernah ikut ke medan perang.
“Kami disebut PKI waktu itu. Jadi saat kami para pejuang disebut PKI maka banyak saudara dan anak saya yang diberhentikan secara paksa dari pekerjaannya. Anak perempuan saya yang paling muda bernama Nelsen diberhentikan,” ungkap Nenek Mbaru.
Suami Mbaru yang berprofesi sebagai guru dan pemusik juga harus berhenti dari pekerjaanya, termasuk anaknya yang paling muda.
Kata Mbaru, suaminya berjanji akan mengurus semua dokumen yang diminta oleh pemerintah untuk mengembalikan nama baiknya.
Sayangnya, keluarga-keluarga yang ikut mengurus administrasi itu ternyata meninggal secara tiba-tiba.
“Iya karena suami saya adalah pemain musik yang biasa manggung ke desa-desa. Tapi oleh kepala desa saat itu suami saya dituduh sebagai anggota PKI,” kata Mbaru.
“Enak saja menuduh seperti itu, kami tidak menerima apa-apa,” katanya lagi.
Tuduhan PKI kepada Mbaru cukup menggelitik untuk diketahui. Pasalnya dari penuturan Mbaru, setiap perayaan 17 Agustus, Mbaru selalu diminta untuk hadir dan menyanyikan lagu-lagu perjuangan Indonesia di masa lampau. Lagu-lagu itu tidak lagi dipakai di masa sekarang ini.
“Setiap tanggal 17 Agustus aku selalu diminta untuk menyanyikan lagu kemerdekaan. Semua lagu yang aku ketahui aku nyanyikan dihadapan para tentara. Jadi beberapa saudara sepupu saya kadang meminta kepada pemerintah setempat untuk bernyanyi lagu perjuangan para Srikandi Indonesia,” ungkap Mbaru.
--Saudara Laki-Lakinya Berjanji Akan Ada Yang Mengurus Dana Pensiunnya
Mbaru mengatakan saudara laki-lakinya berjanji akan mengurus dana pensiun yang seharusnya Ia dapatkan.
Namun seiring waktu berlalu, semua orang yang akan menolongnya, termasuk Djamin Ginting sendiri ternyata meninggal dunia tak lama usai perang berlalu.
Seperti diketahui, Letnan Jenderal Djamin Ginting meninggal dunia pada tanggal 23 Oktober 1974 di Ottawa, Kanada saat ditugaskan oleh Presiden Soeharto.
Sumber the Editor|By Elitha Evinora Br Tarigan