Perjuangan Karo Memang Berliku-Liku
Karo Gaul - Di postingan Edi
Sembiring Meliala mengenai 2 media Karo yang terbit sebelum Kemerdekaan
RI, disebutkan:
" ....Koran Bintang Karo sangat menentang kolonial Belanda.
Beberapa tulisannya selalu mengajak masyarakat untuk menentang penjajahan oleh
kolonial Belanda .... Pemilik Koran Bintang Karo adalah Sampoeran Manik.
Pemimpin Redaksi adalah Mahat Singarimboen. Diterbitkan di Berastagi .... Koran
Pandji Karo sangat kuat tentang Adat Karo. Pandji Karo bersikeras untuk
mempertahankan adat dari pengaruh masuknya agama baru dan perkembangan jaman
...."
Ada satu hal menarik dari kutipan itu. Pemimpin redaksi dari
Bintang Karo itu bernama MAHAT SINGARIMBOEN yang tak ada lain adalah abangnya
Alm. Prof. Dr. Masri Singarimbun (ayah mereka dikenal dengan Pa Mahat). Ayah
mereka itulah yang mendirikan sekolah di Tiganderket, Sekolah Rakyat.
Menurut informasi dari kalangan keluarga, kebetulan saya masih
keluarga dekat dengan keluarga ini, hubungan kekeluargaan mereka yang dekat
pulalah dengan Sibayak Lingga yang memungkinkan Pa Mahat mendirikan Sekolah
Rakyat yang ke dua di Dataran Tinggi Karo setelah SR Raya didirikan oleh Pdt.
J.H. Neumann.
Beberapa tahun lalu saya berbincang-bincang dengan mama Masri
Singarimbun di Lona Garden, Medan, sekalian memintanya sebagai penguji tamu
untuk mahasiswa bimbingan saya yang menulis skripsi mengenai Pemukiman
Masyarakat Terasing di Kuta Kendit (Liang Melas, Karo). Saat itu dia bercerita
riwayat namanya. Orang-orang Karo menyebut namanya Matahari, padahal
sebenarnya, katanya, Matah Ari. Dia lahir saat ayahnya menyembunyikan diri dari
pengejaran Belanda.
Dia bercerita pula sedang menulis buku mengenai Pa Garamata (tak
lama kemudian bukunya diterbitkan oleh Yayasan Merga Silima, Jakarta). Esoknya
saya sampaikan berita ini ke bengkila Payung Bangun (Pa Berontak). Dia
tercenung lama menatap langit-langit rumahnya. Menurut perasaanku dia seperti hendak
menangis tapi seolah pantang baginya untuk menangis haru (Pa Garamata adalah
ayahnya).
Dengan suara serak dan berat dia berkata kemudian: "Saya
salut pada Masri. Semua orang menduga saya dan pasukan saya yang membunuh
ayahnya semasa Revolusi Sosial. Padahal tidak sama sekali. Saat itu, saya
berada di Tapanuli Selatan melaksanakan perintah dari pusat untuk melucuti
pasukan Maraden Pangabean (di Rezim Soharto sempat menjadi Menko Polkam,
red.)."
Tentu lebih aneh lagi, bagi saya, mengapa Pa Mahat Singarimboen
menjadi korban Revolusi Sosial? Menurut komentar tentang Koran Bintang Karo
itu, koran yang dibesut oleh Mahat Singarimboen itu mengajak Rakyat Karo untuk
melawan penjajahan. Berarti menentang Belanda. Sedangkan korban Revolusi Sosial
yang disampaikan kepada kita lewat buku-buku adalah yang memihak Belanda dan
berusaha mempertahankan sistim feodalisme.
Kalau hanya dari buku-buku dan terus bolak balik ke buku, kisah
saya ini tak akan pernah saudara-saudara dengar. Sekarang saja mungkin kam
berkata dalam hati: "Kai kin lang nim?"
Serie tulisan saya yang baru (sedang mengolah pendahuluannya)
akan membahas asal usul cara berpikir kita sekarang ini mengenai Karo. Apakah
kita tetap bertahan dengan kisah-kisah yang seolah sudah menjadi undang-undang
tentang Sejarah Karo tau kita tidak malas untuk memulai awal MENGEKSPLORASI
Karo lagi?
Mari kita EKSPLORASI pikiran-pikiran yang kita anut sekarang
ini. Sejarah Karo sudah belangsung secara berliku-liku.
SALAM RETHINKING KARO SOCIETY
Artikel ini telah tayang di Group Facebook : Jamburta Merga Silima dengan judul "Perjuangan Karo Memang Berliku-Liku".
Penulis : Juara R Ginting
Sumber tambahan : karosiadi.com
Foto by :@riccojefriginting