Mengenal Karo dari Catatan Sejarah
Karogaul.com - Karo (Aru/Haru) adalah suku asli yang mendiami Sumatera bagian utara, timur, dan tengah. Dipercaya, dahulu kala daerah Karo(Aru/Haru) ini didiami oleh suku bangsa yang bernenek moyangkan Karo (Aru/Haru) yang dikemudian hari diyakini dari nenek moyang Karo inilah lahirnya Merga Silima (1. Karo-karo, 2. Ginting, 3. Tarigan, 4. Sembiring, dan 5. Perangin-angin) dan selanjutnya dari Merga Silima itu, terlahir cabang(sub-) merga serta sib(rantingnya).
Namun, dalam perjalanan suku bangsa Karo ini, terjadi invasi-invasi dari beberapa suku bangsa baik yang memiliki pertalian dekat maupun jauh dengan Karo itu, yang dimana sebahagian besar mereka diindikasikan dari negeri-negeri di Selatan India, seperti: Colay (Cōla), Pandya (Pandyth), Palawa, Teykaman, Muoham, Malaylam, dan Kalingga (Orysa), dll., yang kemudian berbiak, membentuk klan-klan-nya, beradaptasi (bukan membentuk budaya Karo itu) dengan budaya Karo Tua (Proto Karo), kemudian kelompok tersebut merasuk ke Karo itu dan menjadi bagian dari Merga Silima tersebut, atau dengan kata lain menjadi sub/sib merga Merga Silima.
Diyakini juga, masa invasi-invasi ini berlangsung cukup lama, setidaknya sekitar 200 tahun Sebelum Masehi (SM) hingga masa masuknya Hindu sekitar awal abad ke-13 Masehi, maka pada invasi ini mereka bukan membentuk namun beradaptasi dengan budaya Karo yang telah ada walau tidak dapat dipungkiri jikalau mereka juga turut serta dalam menambah variasi dari tradisi budaya Karo itu.
Keberadaan suku bangsa Karo diyakini sudah ada jauh sebelum abad I (pertama) tahun Masehi, hal ini juga ditunjukan dengan keberadaan kerajaan Aru (Haru-Karo) yang dimana diyakini berdirinya sekitar awal-awal tahun Masehi, sehingga berkesimpulan dari tradisi ini, maka diyakini benih-benih Karo telah ada sebelumnya. Aru/Haru, merupakan salah satu kerajaan tua yang pernah berdiri di Pulau Sumatera tepatnya berpusat di wilayah Sumatera Utara sekarang, yang tumbuh dan berkembangnya bersamaan dengan beberapa kerajaan besar di nusantara, seperti: Sriwijaya, Majapahit, Malaka, Johor, dll. Hal ini ditandai dengan adanya interaksi antara Aru/Haru dengan kerajaan-kerajaan tersebut, seperti: peperangan, interaksi pelayaran, agama, perdagangan; baik secara langsung maupun yang tersirat dalam bentuk sastra kelasik.
Hipotesa akan eksistensi keberadaan suku bangsa Karo ini sudah ada sebelum memasuki tahun Masehi, dapat disimpulkan dari beberapa tradisi dan catatan sejarah yang ada. Menurut sejarah perkembangan Pemerintahan Kota Madya Daerah TK II Medan, tahun 1925 dan 1926, Vain Stein Callenfels menemukan tumpukan kerang (kjokkenmondinger) dan peralatan manusia pra-sejarah berupa serpih bilah (flaked pubbel-tools), lempeng batu, dan alat tumbuk lainnya yang masih sangat kasar di perkebunan tembakau Serintis, Buluh Cina, Tandan Hilir, dll.
Selain itu, di beberapa daerah Karo di Deli Sedang, Kab. Karo, Langkat, Gayo, dan Alas juga banyak ditemui gua-gua umang (cakap/bahasa) Karo, umang dipakai untuk menyatakan manusia yang masih primitif, hidup di gua-gua, dan pemakan kerang) yang didalamnya bertuliskan Karo (Surat Aru/Haru). Hal ini dapat dijadikan sebagai bukti dan membuat para ahli menyimpulkan bahwa manusia purba telah hidup di wilayah Karo setidaknya sekitar 10.000 tahun lalu.
Manusia-manusia purba ini hidup di wilayah Karo sekitar 4.500 – 2.500 SM yang kemudian terdesak (invasi) dan bercampur dengan ras Mongoloid dari daratan Asia 5.000 tahun yang lalu (Adat Karo hal. 15, Darwan Prints). Sehingga para ahli dan pemerhati sejarah Karo menganut teori bahwa suku bangsa Karo merupakan percampuran antara ras Negroid dengan ras Mongoloid.
Brahma Putro dalam bukunya yang berjudul “Karo dari zaman ke zaman” mengatakan kalau Aru/Haru telah ada pada abad I Masehi dengan raja pertamanya bernama Pa Lagan (kisah kebesaran Pa Lagan ini juga tersirat dalam Babat Sunda dan kitab Manimengelai karya pujangga populer India, Brahma Putro), yang berpusat di Teluk Haru (Langkat).
Dan, penyebaran suku Karo ini meliputi keseluruhan wilayah Aru/Haru yang secara garis besar meliputi Sumatera bagian utara (termasuk Aceh), timur, dan tengah. Keberadaan suku Karo di Aceh ini dikatakan Brahma Putro dengan adanya kerajaan Karo di Aceh dimana dikatakan juga raja Karo terakhir yang pernah berkuasa di Aceh bernama Manang Ginting Suka.
Hal ini juga sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh H. Muhamad Said dalam bukunya “Aceh Sepanjang Abad” (1981), yang mengatakan bahwa penduduk asli Aceh Besar adalah keturunan yang mirip Batak (walau tidak secara detail dijelaskan). H. M. Zainudin dalam bukunya “Tarikh Aceh dan Nusantara”(1961) menuturkan bahwa di lembah Aceh Besar selain kerajaan-kerajaan Islam juga ada berdiri kerajaan Karo, yang dalam logat Aceh disebut Karéé. Dan, beliau juga menambahkan bahwa penduduk asli bumi putra dari XXV Mukim bercampur dengan Karo, dan itu-lah yang disebutkan tadi diatas dengan Karéé.
Dikemudian hari, terjadi persengketaan antara suku Karo dengan kaum Hindu di Aceh, sehingga untuk menyelesaikan pertikaian ini disepakati diadakan perang tanding antara tiga ratus (300) orang suku Karo melawan empat ratus (400) kaum Hindu di sebuah lapangan terbuka. Namun pada akhirnya pertikaian ini berakhir dengan damai, dan sejak saat itu suku Karo disana disebut kaum tiga ratus atau Kaum Lhee Reutoih dan kaum Hindu disebut kaum empat ratus. Kemudian hari terjadi percampuran antara suku Karo dan kaum Hindu, dan kelompok percampuran ini disebut dengan Kaum Jasandang.
Selain dari pada apa yang telah dikemukakan diatas, keberadaan suku Karo di Aceh juga mendapat konfirmasi dari sejarah kerajaan Nagur (di Sumatera Timur sektar abad ke-5 Masehi) yang juga tersirat dalam sejarah suku bangsa Simalungun, yang dimana diceritakan saat ke-empat raja besar dari Siam dan India hendak mengimvasi wilayah sekitar Aceh dan Langkat (Sumatera Utara) dihadang oleh penduduk suku asli, dan mungkin saja yang dimaksud adalah Aru/Haru(Karo) mengingat penduduk yang mendiami perbatasan Aceh dan wilayah Sumatera bagian utara adalah etnis Karo.
Dan, juga dapat kita lihat dari beberapa nama tempat di Aceh yang sangat identik dengan dialek, bahasa, dan tradisi Karo, seperti: Kuta Raja (sekarang Banda Aceh), Kuta Binjei (Bingei) di Aceh Timur, Kuta Karang, Kuta Alam, Kuta Lubok, Kuta Laksamana Mahmud, Kuta Cané, Belang Kejeren, Belang Bintang, Belang Pidie, Lau Sigalagala, Lau Deski, Lau Perbunga, Lau Kinga, Danau Lau Tawar, Lau Binge, Simpang Simadam, Semelue (mungkin Simalem), dll.
Diyakini, Hindu sudah masuk ke nusantara, juga ke Karo (Aru/Haru) di awal-awal tahun Masehi, dimana dipercaya aksara Palawa (wenggi) mulai diperkenalkan bersaman dengan bahasa Sansekerta, dan diikuti oleh Budha lima abad kemudian (abad ke-5 M) bersamaan dengan masuknya aksara Nagari yang diyakini menjadi cikal bakal lahirnya Tulisen Karo (Surat Aru/Haru), aksara Melayu Kuno, Jawa Kuno, Batak, dll.
Mereka (misionaris zending Hindu) merupakan penganut Senata Dharma. Hal ini didukung dengan ditemukannya sebuah inskripsi pada batu bertulis di Lobu Tua, dekat Barus (pantai barat Sumatera bagian Utara), yang ditemukan oleh G.J.J. Deuts pada tahun 1879 M. Tulisan tersebut di tahun 1932 oleh Prof. Nilakantiasastri, guru besar dari Universitas Madras diterjemahkan. Maka, diketahuilah bahwa pada tahun 1080 M, di Lobu Tua tak jauh dari Sungai Singkil ada permukiman pedagang dari India Selatan.
Mereka orang Tamil yang menjadi pedagang kapur barus yang menurut tafsiran membawa pegawai dan penjaga-penjaga gudang kira-kira 1.500 orang. Mereka diyakini berasal dari negeri-negeri di Selatan India, seperti: Colay(Cōla), Pandya(Pandyth), Teykaman, Muoham, Malaylam, dan Kalingga (Orysa). Sekitar tahun 1128-1285 M karena terdesak oleh misi dagang dan siar Islam yang dilakukan serdadu dan pedagang Arab serta Turki (ada beberapa ahli berpendapat jikalau mereka terdesak oleh serdadu Jawa, Minang, ataupun Aceh), maka kaum Tamil di Barus mengungsi ke pedalaman Alas dan Gayo (di Kabupaten Aceh Tenggara), dan kemudian mendirikan Kampung Renun.
Ada juga yang menyingkir lewat Sungai Cinendang, lalu berbiak di pelosok Karo kemudian mendirikan kuta (kampung) Lingga, serta Sembiring Singombak yang diantaranya: Sembiring Brahmana, Pandia, Colia, Guru Kinayan, Keling, Depari, Pelawi (Pahlawi/Palawa), Bunu Aji, Muham, Busok, Meliala (Maliala/Milala), Maha, Tekang (Teykang), Pande Bayang, dan Kapur. “Bayangkan, bangsa dari negeri yang jauh berlayar ke nusantara dengan peradaban yang tinggi harus berbaur dan mau mengaku Karo demi sebuah kehidupan. Dari hal ini dapat kita asumsikan kalau Haru(Karo) itu adalah tempat yang nyaman bagi seluruh bangsa dan juga telah memilik peradaban yang tinggi pula.”
Menurut tafsiran (berdasarkan data yang ada), kita dapat berasumsi bahwa Bangsa Tamil yang sudah berbiak dan ber-merga di Karo itulah membawa budaya Hindu ke Karo dan diadaptasikan dengan kepercayaan pemena yang telah ada di Karo, dan bukan tidak mungkin Pemena sama dengan Senata Dharma yang pernah berkembang di Selatan India, karena jika ditinjau dari segi bahasa, Pemena=pertama, awal, dasar. Bandingkan dengan Senata Dharma (Hindu) yang juga berarti senata = awal, dasar, dll; dharma = ajaran, kepercayaan, dll; jadi, Senata Dharma = kepercayaan(agama) pertama. Jadi, dari segi ini kita sepakat, bukan? Namun, tidak cukup ditinjau dari segi bahasa saja.
Ada beberapa tradisi Pemena yang sama dengan Senata Dharma, diantaranya: upacara Pakuwaluh (membakar dan menghanyutkan abu jenazah) yang dilakukan di Lau Biang (Lau: sungai, biang: anjing) dengan dimasukkan dalam sebuah guci diatas perahu dengan panjang sekitar satu meter. Mengapa dilakukan di Lau Biang? Dalam tafsiran masyarakat dahulu, Lau Biang yang perpanjangannya adalah Sungai Wampu di Langkat mengalir ke Selat Malaka dan dari sana dengan tuntunan roh-roh akan mengalir ke Samudra Hindia dan selanjutnya akan sampai di Sungai Gangga di India.
Bukan itu saja, banyak tradisi di Karo yang sama dengan kebiasaan masyarakat di Selatan India, antara lain: masyarakat Karo dahulu selalu melakukan doa di malam bulan purnama serta menyanyikan mangmang/tabas (mantra/doa) dengan cara ngerengget seperti para pendeta Hindu melantunkan mantra; Mbesur-mbesuri, nengget, mbaba anak ku lau, erpangir, ergunting, erkiker (memotong gigi), dll. Dan, dahulu wanita-wanita di Karo juga suka membuat titik merah dikeningnya seperti halnya yang dilakukan wanita-wanita di India (sekarang juga bagi pemeluk kepercayaan pemena).
Ikuti link ini: http://karosiadi.blogspot.com/…/pencak-gelang-gelang-mulih-… dan dengarkan lagu ke-5, dimana seorang melantunkan mangmang/tabas(mantra) Karo (Title : Sumatra. 14, Berastagi and Kampung Doulu, Kabanjahe, North Sumatra; Creator : Margaret J. Kartomi; Contributor : Monash University. Faculty of Arts. School of Music-Conservatorium; Date : 1971; Recording session 1 (30 Dec. 1971 in Berastagi) : No.1. Pencak (continued from MK1-SUM0147) ; No.2. Gelang-gelang ; No.3. Pencak ; No.4. Mulih-mulih ; No.5. Mantera)
Dalam hal seni, beberapa tafsiran juga muncul, diantaranya rengget (cengkok) Karo yang hampir sama dengan cara orang India untuk melantuntak mantra, suara sarune (serunai) yang tinggi di Karo yang endekna (cara permainannya) sama seperti teknik vocal wanita di India, serta beberapa perkusi Karo yang juga serupa dengan yang ada di India.
Berdasarkan pada catatan seorang pelaut Cina bernama Fahien yang melakukan perjalanan di tahun 414 M, Aru/Haru sudah ada walau tidak dijelaskan letaknya secara pasti. Dan, abad ke-9 M kembali muncul beberapa nama kerajaan seperti: Rami (Lamuri[-di] di Aceh), Balus(Barus), Jahé(Sriwijaya), Melayu, dan Harlanj(Aru/Haru/Karo).
Dalam tradisi Karo sendiri, dikatakan Haru berdiri sekitar tahun 685 M yang berpusat disekitar Teluk Haru (Langkat) dengan rajanya yang pertama bernama Pa Lagan. Dikemudian hari, karena seringnya terjadi peperangan di wilayah-wilayah Haru ini, maka pusat kerajaan mengalami perpindahan ke pedalaman Deli, namun karena saat itu tidak ditemukan kesepakatan akan pusat kerajaan dan kekuasaan maka pada akhirnya kerajaan ini terbagi atas beberapa kerajaan besar dan juga urung-urung. Adapun kerajaan-kerajaan pecahan Haru itu, diantaranya: Kerajaan Haru Mabar, Kerajaan Haru Wampu, Kerajaan Haru Kuta Buluh, Kerajaan Haru Pasé, Kerajaan Haru Lingga Timur Raya, dan Kerajaan Haru Deli Tua.
Tahun 860 M, Kerajaan Haru diserang oleh Sriwijaya (Jahé) di Teluk Haru (Langkat) tetapi tidak berhasil, namun banyak penduduk Haru yang pindah ke Alé (Deli Tua) dan Gugung (pegungungan/dataran tinggi Karo) untuk menghindari peperangan. Pada masa-masa inilah banyak masyarakat Aru/Haru(Karo) yang bermigrasi ke pegunungan, sehingga diyakini dimasa inilah awal munculnya sebutan kalak jahé (orang hilir) ataupun Karo Jahé (orang Karo dari hilir). Adapun peninggalan serangan Sriwijaya itu ialah para serdadu Sriwijaya yang tertinggal dan tertawan yang kemudian beradaptasi dengan budaya Karo dan masuk menjadi bagian salah satu dari merga Karo-karo sub-merga Karo-karo Paroka.
Di tahun 1000 – 1449 M di Eropah diketahui setidaknya 12 orang telah menggunakan kata Munthé (Muté) ini dibelakang namanya, salah satunya adalah Ascricus van Munthe (1072) dari Vlanderen yang sekarang merupakan wilayah Belgia. Apakah mungkin Munte yang di Sumatera sudah sampai di Belgia di Tahun 1000? Jika kita berpatok pada masa kemunculan kerajaan Haru (Karo), Nagur(Simalungun), dan Padang Lawas serta Pané (Mandailing), ya mungkin saja! Mengingat, setidaknya aktivitas pelayaran internasional di Barus sudah dimulai sejak abad ke-5 M.
Bahkan di Norwegia, di abad ke-16 muncul Ludvig Munthe. Mengingat jarak antara Belgia dengan Norwegia yang sangat jauh(…) apakah keluarga Munté Belgia ini sama dengan Munté di Norwegia? Namun, jika ditinjau dari faktor waktu (tahun 1000 – 1500’an) dan geografis hal ini juga sangat memungkinkan terjadi, mengingat pelabuhan Belgia yang berhadapan langsung dengan Laut Norwegia melalui Laut Utara yang diapit kepulauan Britania Raya di barat dan di sebelah timur dikelilingi Belanda, Jerman, dan Denmark. Bahkan, silsilah dari Ludwig Munthe (1593-1649) ini disusun dengan sangat rapih oleh Severre Munthe, dalam buku Familiem Munthe In Norge.
Sekitar tahun 1995 diperkirakan jumlah keturunannya lebih lima ratus jiwa. Munthe di Norwegia ini juga mengakui dan menyatakan bahwa Vlanderen (Belgia) adalah tanah asal leluhur mereka ( dokumen terlampir di: http://www.geocities.com/-ascricus/genealogy/surnames.htm | http://www.genealogy.munthe.net/ | http://www.sverre.munthe.net ).
Dari cerita diatas, maka timbul lah pertanyaan besar: apakah Munte (Munthe) di Belgia, Norwegia, dan wilayah Eropah lainnya mencerminkan atau bahkan satu nenek moyang dengan Munthe yang tersebar di nusantara? Dan, darimanakah asal Munthe ini sesungguhnya? Ya, itu pertanyaan yang menjadi misteri besar, tetapi setidaknya ada beberapa tradisi yang mendukung keberadaan Munthe itu lebih awal di utara Danau Toba (Karo), yakni: Tradisi Ginting Munthe itu sendiri, yang didukung oleh tradisi Ginting Pasé, Ginting Manik, Seraggih Munthe (Simalungun), Dalimute (Labuhan Batu) Karo-karo Sinulingga (tradisi Karo) dan juga tradisi Simalungun.
Sebuah cerita menarik, pernah dikatakan seorang Anthrofologi ber-merga Munté yang tinggal di Madagaskar asal Norwegia mengunjungi Kuta Ajinembah (Tanah Karo/Larolanden), diantar oleh Pengurus Nomensen dan diterima oleh Pendeta Pantekosta Ajinembah (1971 ). Beliau mengemukakan bahwa leluhurnya berasal dari Ajinembah di rumah sendi, dan mengatakan “putih” dalam bahasa ibunya dengan “Mbulan”. (Penutur, penduduk Ajinembah, 2001 dalam buku Kenangan Marga Munthe, hal. 221).
“seperti bunyi surat yang ditulis sdr. Severre Munthe, bahwa seorang Munthe pakai huruf “h” atau tidak pakai huruf “h” masa koloni monopoli dagang, tinggal di kampung yang bernama Munte, bermasyarakat dan hidup turun temurun.” (dalam dok. Dame Munthe: “MUNTHE DARI NORWEGIA?”). Ket: Kuta (Kampung) Munte terletak di Kab. Karo, Sumatera Utara dan sekarang menjadi nama sebuah wilayah kecamatan di Kabupaten Karo.
Tahun 1282 M diyakini menjadi tahun awal dimana munculnya satuan politik Aru (Haru/Karo), Artinya, ditahun ini-lah Haru(Aru) mulai secara luas dikenal (khususnya oleh bangsa Eropa) sebagai sebuah kesatuan politik (kerajaan/negeri), dan diyakini berdekatan dengan masa ini di pedalaman Samosir muncul sebutan Si Raja Batak.
Hal ini sangat didukung oleh beberapa studi-studi etnisitas dan pengkajian sejarah Batak, yang mengatakan jikalau Si Raja Batak ini muncul pada awal abad ke-13 Masehi, tepatnya di gunung Pusuk Buhit (di P. Samosir) yang hidup bersamaan dengan masa Kerajaan Haru (Karo), Padang Lawas dan Pane (Mandailing Tua), Sriwijaya (Palembang), Majapahit (Jawa), Pagaruyung (Minang), dll.
Ditinjau dari aspek ruang dan waktu, tentunya Si Raja Batak pastilah rakyat atau aktivis dari salah satu kerajaan tersebut diatas, atau- bahkan biasa juga merupakan penentang dari kerajaan-kerajaan tersebut, hingga membuatnya harus mengungsi ke pedalaman di Samosir. Ada beberapa pendapat yang mengatakan, Si Raja Batak adalah gubernur dari raja Pagaruyung di Tapanuli, hal ini didukung oleh adanya patung yang menyerupai apa yang ada di Pagaruyung dan dipercaya patung tersebut memang dibawa dari kerajaan Pagaruyung.
Dan, Si Raja Batak sendiri secara berkala mengirim upeti dan menerima utusan-utusan raja Pagaruyung dengan baik sebagai pembuktian setia dan pengabdianya kepada raja Pagaruyung. Namun, tidak jarang juga ahli dan budayawan yang mendukung teori bahwa Si Raja Batak adalah pejabat Sriwijaya di Portibi, Padang Lawas, dan Timur danau Toba (Simalungun) yang dikemudian hari harus mengungsi ke pedalaman Samosir akibat serangan dari Majapahit, dan gelar raja sendiri diberikan oleh keturunannya kepadanya bukan karena kekuasaan, melainkan oleh karena teladan serta untuk mengenang jasa-jasanya.
Tahun 1331 M dibawah pimpinan Maha Patih Gajahmada kerajaan Majapahit menyerang Haru, tetapi gagal menaklukkan Haru, sehingga beberapa serdadunya yang tertinggal dan tertawan menjadi rakyat Haru dan masuk menjadi salah satu merga Peranginangin dengan sub-merga Peranginangin Jab.
Dalam Sejarah Majapahit sendiri, nama Haru berulang kali disebut-sebut, hal ini menjadi bukti akan kebesaran Kerajaan Haru di-zaman itu dan menjadi salah satu negara kuat yang susah untuk ditaklukkan oleh kerajaan terbesar di nusantara ini (Majapahit), membuat seorang maha patih menjadi resah dan mengikrarkan sumpah akan menaklukkannya. Kisah ini juga dengan jelas diceritakan dalam buku “Karo dari Jaman ke Jaman” karya pujangga terkenal India yang bernama Brahma Putro. Berikut petikan sumpah palapa dari Maha Patih Gajah Mada, Patih Amangkubhumi Majapahit.
Sumpah Palapa adalah suatu pernyataan/sumpah yang dikemukakan oleh Gajah Mada saat upacara pengangkatannya menjadi Patih Amangkubhumi Majapahit, tahun 1258 Saka (1336 M). Sumpah Palapa ini ditemukan pada teks Jawa Pertengahan Pararaton yang berbunyi, sebagai berikut:
Sira Gajah Mada patih Amangkubhumi tan ayun amuktia palapa, sira Gajah Mada: "Lamun huwus kalah nusantara isun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seran, Tañjung Pura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana isun amukti palapa".
Terjemahannya dalam bahasa Indonesia:
Beliau Gajah Mada Patih Amangkubumi tidak ingin melepaskan puasa. Ia Gajah Mada, "Jika telah mengalahkan Nusantara, saya (baru akan) melepaskan puasa. Jika mengalahkan Gurun, Seram, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, demikianlah saya (baru akan) melepaskan puasa".
Terjemahannya dalam cakap Karo:
Enda me Si Gajah Mada puanglima simbelin si la erngadi-ngadi erpuasa. Ia Gajah Mada, “Ndia enggo ngalahken nusantara, maka kami pengadi puasa. Adina pepagi enggo naklukken Gurun, Seram, Tanjung Pura, Karo, Pahang, Dampo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, bage me siterjadi maka pusa enda i pengadi.”
Sekitar tahun 1395 – 1435 Masehi, dimana Tuan Sipinangsori putra dari Kalak Karo yang berasal dari Aji Nembah (Karolanden/Taneh Karo) sekitar tahun 1428 M menetap di Raja Simbolon dengan menunggangi horbo (kerbau) Sinanggalutu.
Dan, hal ini juga didukung oleh tradisi Dalimunte yang berkembang di Labuhan Batu, dimana diceritakan saat Si Munte dari Aji Nembah yang menunggangi “Kerbo Nenggala Lutu” ini membawa segenggam bibit kacang-kacangan yang disebut “dali” dan menanamnya kemudian tumbuh subur dan berbuah banyak, serta biji-bijian ini sangat disukai, sehingga para tetangga menawarkan barter dengan menyebut dali – Munté dengan maksud “kacang mu o, Muté ” atau “minta kacangmu o, Munté ”. Sehingga dikemudian hari para keturunannya dipanggil dengan Dalimunte.
Sejarah Dinasti Ming menyebutkan bahwa "Su-lu-tang Husin", penguasa Haru, mengirimkan upeti pada Cina tahun 1411 M. Setahun kemudian Haru dikunjungi oleh armada Laksamana Cheng Ho. Pada 1431 M Cheng Ho kembali mengirimkan hadiah pada raja Haru, namun saat itu Haru tidak lagi membayar upeti pada Cina.
Pada masa ini Haru menjadi saingan Malaka sebagai kekuatan maritim di Selat Malaka. Konflik kedua kerajaan ini dideskripsikan baik oleh Tome Pires dalam Suma Oriental (disebutkan bahwa kerajaan Haru merupakan kerajaan yang kuat Penguasa Terbesar di Sumatera yang memiliki wilayah kekuasaan yang luas dan memiliki pelabuhan yang ramai dikunjungi oleh kapal-kapal asing. Dalam laporannya, Tomé Pires juga mendeskripsikan akan kehebatan armada kapal laut kerajaan Aru yang mampu melakukan pengontrolan lalu lintas kapal-kapal yang melalui Selat Malaka pada masa itu.) maupun dalam Sejarah Melayu. Dimana sebelumnya di tahun 1282 M Haru mengirim misi ke Tiongkok.
Dalam ekspedisi maritim Tionghua tahun 1413 M Ying-yai Sheng-lam, disebutkan “A-lu(Aru, Haru/Karo)” merupakan penghasil kemeyan; dan sumber Tionghua lainnya Hsing-ch’a Sheng Lam menyebutkan “A-lu” sebagai penghasil beras, kemeyam, bahan-bahan aromatik, kamper, dll.
Dalam Wu Pei Shih (Peta Cina, 1433 M) disebutkan, ketika armada Cina berlayar dari arah barat saat hendak kembali ke Cina, mereka melalui kerajaan-kerajaan sebagai berikut: Su Man Ta La (Samudra Pasai), Chu-Shui Wan (Lhok Seumawe), Pa Lu T’hou (Perlak), Kum Pei Chiang (Tamiang), Ya Lu (Haru/Karo), Tan Hsu (Pulau Berhala), dan seterusnya.
Januari dan November 1539 M, Haru diserang oleh Sultan Aceh Al Qadar (Sultan Alaidin Riyad Shah – I) dan kejadian ini dituliskan oleh Ferdinand Mandez Pinto yang merupakan seorang utusan Portugis saat mengunjungi Haru (Haru II/Deli Tua) dari Malaka setelah menempuh lima hari perjalanan hingga sampai di ibu negeri Haru II (Deli Tua).
Tahun 1511 M Haru diserang oleh Malaka namun tidak berhasil. Kemudian ditahun 1515 M Haru kembali diserang kali ini oleh Aceh dan Portugis namun juga tidak berhasil. Dan, para peneliti meyakini dimasa iniliah pusat kerajaan Haru benar-benar berpindah dari Teluk Haru (Langkat) ke Alé (Deli Tua).
Tahun 1590 M diyakini tahun berdirinya Kota Medan, yang dimana didirikan oleh seorang putra Karo bermerga Sembiring, yang bernama Guru Patimpus Sembiring Pelawi. Bersamaan dengan ini, ditahun 1594 M Seh Ngenana beru Sembiring Meliala atau lebih dikenal dengan sebutan Putri Hijau diangkat menjadi pemimpin (Ratu) Haru.
Di masa-masa inilah dapat dikatakan masa-masa kritis Haru, dimana peperangan yang terus-menerus membuat wilayah Haru semakin terdesak ke pedalaman gugung (pegunungan Karo) dan melemahkan posisi Haru itu sendiri, maka ditahun 1632 M diyakini Haru (Alé) di Pesisir Pantai Timur Sumatera bagian Utara resmi takluk. Hal ini ditandai dengan pengangkatan Gocah Pahlawan menjadi Raja (Sultan) Deli.
Dengan tegaknya Deli membuat supremasi Haru (Karo) di wilayah pesisir pantai timur benar-benar hilang, namun ada beberapa kerajaan urung Haru (Karo) yang masih tegak berdiri dan menjadi wilayah independen terbatas, seperti: Kerajaan Urung Serbanyaman (Sunggal) yang dipimpin oleh Datuk Sunggal ber-merga Karo-karo Surbakti, Urung Senembah yang dipimpin oleh merga Karo-karo Barus, Urung Hamparan Perak (Sepuluh Dua Kuta/XII Kuta) yang dipimpin oleh Sembiring Pelawi (keturunan Guru Patimpus Sembiring Pelawi/pendiri kota Medan), dan Urung Suka Piring yang juga dipimpin oleh seorang dari merga Sembiring Pelawi.
Dalam suratnya kepada Raja Portugal bertahunkan 1539 M Pero de Farida mengatakan Aceh telah menyerang Haru sebanyak dua kali, yakni di bulan Januari dan November 1539 M. Cornelius de Houtman dan Frederich de Houtman saat tiba di Aceh tertanggal 21 Juni 1599 mengutarakan beberapa kerajaan besar di Sumatera, diantaranya: Minangkabau, Pedir, Haru, dan Aceh.
Di-tahun 1591 M Sultan Johor, Ali Jalal menumpas pasukan Aceh dan berhasil mengalahkanya di Haru yang dimana tahun 1612 M Aceh kembali menyerang balik, dilanjutkan dengan serangan di tahun 1624 M yang menjadi titik runtuhnya kerajaan Haru di kawasan pesisir serta takluk kepada Aceh.
Dengan demikian, kekuatan Haru hanya tinggal di-kawasan pegunungan Karo saja yang hingga kedatangan Belanda belum bisa ditaklukkan oleh kerajaan-kerajaan lainnya terkhususnya Aceh. Baru di-tahun 1908 M kolonial Belanda berhasil mengalahkan kerajaan Haru terakhir (Haru Kuta Buluh/Kesebayaken Kuta Buluh) dan menjatuhkan hukuman kurungan seumur hidup kepada Sibayak (raja) Haru Kuta Buluh, Sibayak Batiren (Pa Tolong). Dengan demikian seluruh wilayah Haru (Karo) telah takluk!
Dari penggalan-penggalan fakta sejarah diatas, maka kita dapat menarik beberapa kesimpulan, yang mungkin jika kita berpaling pada tradisi-tradisi yang ada (opini publik yang digiring baik sengaja atau tidak) akan terasa janggal, diantaranya:
1. Suku bangsa Karo telah ada diawal bahkan sebelum memasuki tahun Masehi. Hal ini merujuk pada tahun-tahun yang diyakini berdirinya kerajaan Haru (Karo), setidaknya antara periode abad I hingga abad ke-6. Logika-nya, untuk membentuk ataupun mendirikan sebuah kerajaan besar, tidak-lah mungkin dalam waktu yang singkat, dengan ilmu pengetahuan yang minim, serta jumlah sumber daya manusia yang cukup. Dalam tradisi Karo, untuk membentuk satuan administrasi kuta (satuan/kerapatan dari beberapa kesain) saja harus setidaknya memiliki kelengkapan diantaranya seperti berikut:
- Terdiri dari beberapa kesain yang telah berkembang, sehingga nantinya akan disatukan (dinaikkan statusnya) menjadi kuta.
- Memiliki rumah adat yang menjadi tempat tinggal dan pertemuan. Serta perangkat-perangkat dalam rumah adat ini juga telah terpenuhi, baik kebendaannya maupun organik (penghuni).
- Memiliki kesain (beranda desa/alun-alun) sebagai tempat pertemuan, bermain anak-anak, penjemuran dan penumpukan hasil tani terkhususnya padi. Dalam sebuah kuta, setidaknya harus memiliki satu kesain dan untuk kuta-kuta yang besar bahkan lebih dari tiga atau empat kesain.
- Memiliki jambur sebagai tempat pertemuan, lumbung pangan, tempat muda/i bercengkramah dan belajar, tempat memasak saat pesta, tempat lajang tidur dimalam hari, dan tempat pertandang (musafir/tamu) bermalam;
- Memiliki geriten sebagai tempat mengumpulkan/menyimpan tulang belulang leluhur yang dianggap sebagai tokoh/teladan di kuta tersebut;
- Memiliki peken (reba) sebagai tempat anggota kuta untuk menanam tanaman keras yang diana luasnya ditentukan oleh pertemuan baluren (lembah);
- Memiliki pendonen sebagai tempat mengubur zenajah anggota kuta;
- Memiliki perjuman yang merupakan berbatasan dengan peken yang diperuntukkan bagi warga umum dan juga tanaman umum;
- Memiliki kerangen (hutan) sebagai pengimbang alam, pemasok udara, dan air segar bagi masyarakat desa yang dimana ada larangan untuk menebang pohon (hanya boleh mengambil ranting sebagai kayu bakar), disamping kerangen ada juga deleng rimbun raya dimana di hutan ini-lah baru diperbolehkan menebang kayu untuk memproduksi balok-balok besar untuk keperluan bangunan maupun untuk dijual;
- Memiliki barung yang merupakan tempat mengembalakan hewan jinak, berupa padang rumput yang luas namun terbatas atau bisa dikatakan lokasi peternakan alam;
- Memiliki Perjalangen yang merupakan padang rumput luas dan tak terbatas. Dimana hewan ternak bebas berkeliaran dan tidak digembalakan;
- Memilik tapin (MCK umum) yang minimal satu kuta harus memiliki dua lokasi tapin yang berjauhan, karena adanya adat rebu (tidak saling sapa) dalam adat Karo;
- Memiliki buah uta-uta sebagai tempat pemujaan atau persembahyangan bagi penganut ajaran Pemena (agama/kepercayaan Karo).
Itu-lah syarat yang harus dipenuhi untuk memperoleh status kuta! Itu masih dalam hal perangkat, belum lagi proses pendiriannya yang tentunya memakan waktu yang panjang. Bagaimana pula jika mendirikan sebuah kerajaan Urung ataupun Kesebayaken? Hm.. mungkin butuh waktu sekurang-kurangnya 100 tahun, bukan begitu? Jadi, sangatlah masuk akal jika Karo itu sudah ada diawal-awal atau bahkan sebelum memasuki tahun Masehi, mengingat masa pendirian dari kerajaan besar Haru (Karo).
2. Karo, telah ada saat masa kemunculan Si Raja Batak (abad ke-13). Maka, muncul lah pertanyaan! Mungkinkah Karo juga keturunan dari Si Raja Batak yang dalam tradisi Batak (Toba) adalah nenek moyang seluruh bangsa Batak? Dimana notabene-nya Karo lebih tua dari Si Raja Batak! Jadi, dalam hal ini terbukti bahwasanya Karo bukan-lah keturunan dari Si Raja Batak, karena Karo lebih tua dari Si Raja Batak, atau setidaknya hidup kerajaan Aru/Haru(Karo) bersamaan dengan masa hidup Si Raja Batak, jadi dalam hal ini perlulah kiranya membangun logika berfikir dalam menyingkapi fakta sejarah, jangan lantas kita menerima begitu saja ataupun menjatuhkan vonis kepeda seseorang ataupun kelompok etnis atas dasar opini umum publik semata!
3. Karo = Haru = Aru = Alé = A-lu = Ya-lu = Ya lo = Carrow = Karau = Karaw = Haro = Harw = Haraw = Harladji = Harlanj = Haro-haro = Guru = Gori.
4. Kerajaan Haru Karo (Kuta Buluh) adalah kerajaan terakhir, setidaknya di Sumatera bagian Utara yang ditaklukkan oleh kolonial Belanda. Dan, tidak ada dalam sejarah tentang adanya bangsa dan negeri Batak seperti yang digembar-gemborkan seperti pada saat ini. Dan, tidak ada sejarahnya suku bangsa Karo hidup di negeri Batak ataupun berajakan raja Batak. Yang ada dan berkuasa di Karo: Sibayak-Sultan, Raja Urung, Pengulu, Pengulu Kesain, dll.
5. Silahkan simpulkan sendiri. (Arikokena)ogspot.co.id