Roni Sikap Sinuraya Punya Jimat Seperti Milik Pak Pranowo
Karogaul.com - Meninggalkan jabatan strategis yang
dipangku selama enam tahun tujuh bulan, bukanlah sesuatu hal yang mudah
tentunya. Namun kenyataannya tidak demikian. Roni Sikap Sinuraya, secara mental
sudah siap untuk melepaskan jabatan Direktur Jenderal Imigrasi hari Kamis
(16/3) ini.
"Banyak teman
mengatakan, you mau timbang terima kok tenang- tenang saja? Saya memang tidak
merasa ada power syndrome. Jangankan berhenti menjadi direktur jenderal
(Dirjen), berhenti menjadi manusia pun saya harus siap menghadapinya," kata
Roni Sikap Sinuraya menjelang akhir masa jabatannya.
Baginya, menduduki
jabatan Dirjen Imigrasi sudah merupakan penghormatan yang besar. "Dadi
dirjen wis sepiro-sepirone rek, kalau tidak merdeka yo, macul (menjadi dirjen
sudah lebih dari cukup, kalau tidak merdeka, ya mencangkul)," ujar
Sinuraya yang berasal dari keluarga Karo namun menguasai bahasa Jawa dan Sunda.
Loyalitasnya sudah sangat
bulat, sehingga tidak pernah terpikirkan dan bahkan sampai saat ini ia mengaku
tidak pernah tahu ke mana selanjutnya ia akan ditempatkan. Ada kabar burung ia
bakal diangkat menjadi duta besar di Malaysia, namun ia tetap mengaku tidak
tahu apa-apa.
"Kalau disuruh
menjadi tukang sapu, maka saya akan berusaha menyapu yang lebih bersih,"
kata Roni Sikap Sinuraya mengungkapkan kiat pengabdian pada pekerjaan. Ia juga
berprinsip, bahwa hari ini harus lebih baik dari kemarin dan selalu tidak
pernah puas dengan apa yang pernah dikerjakan.
***
PENGABDIAN merupakan
prinsip utama yang dipegang bapak dari empat anak ini, baik mengabdi kepada
masyarakat maupun kepada negara. Maka tidaklah mengherankan kalau ia tidak
pernah memikirkan tempat selanjutnya, sama seperti ketika pejabat berusia 59
tahun ini akan memangku jabatan tertinggi di Direktorat Imigrasi 18 Agustus
tahun 1988.
Lelaki kelahiran Desa
Bunuraya, Kabanjahe, Sumatera Utara tanggal 10 Februari 1936 ini sama sekali
tak pernah menduga akan diangkat menjadi Dirjen Imigrasi. Waktu itu masih
memegang jabatan Kepala Dinas Penerangan TNI-AD (Kadispenad), dan Roni Sikap
Sinuraya tidak pernah berhubungan dengan masalah keimigrasian.
Pertama kali ia tidak
pernah menduga, tidak mengerti, tidak tahu, tidak siap, dan kaget. Bahkan
Sinuraya mengaku baru tahu kalau paspor dikeluarkan imigrasi setelah masuk
imigrasi, karena paspor yang dimiliki waktu itu dikeluarkan oleh Departemen
Luar Negeri. Ia juga merasa banyak orang yang lebih pintar dari dirinya.
Namun, lulusan Atekad
(Akademi Teknik Angkatan Darat) tahun 1960 yang banyak melewati jenjang
pendidikan di lingkungan ABRI ini, baik Suslapa (1968-69), Seskoad (1970-71),
Seskogab (1976-77), dan Lemhannas KSA-I 1991 tetap berusaha menjawab tantangan.
Dengan belajar dari buku, bertanya, dan mendengar ia segera menyadari ternyata
posisinya sangat penting dan banyak berkaitan dengan departemen lain.
Menghadapi tugas yang
banyak melibatkan interdep (inter- departemen) dan sudah tentu akan banyak
melahirkan tekanan, lulusan SMA tahun 1957 ini tidak terlalu memaksakan diri.
Setiap pekerjaan yang tidak bisa diselesaikan hari itu tidak akan pernah dibawa
pulang ke rumah.
Pekerjaan di kantor tidak
pernah menjadi beban dalam kehidupan keluarganya. Berkas-berkas pekerjaan di
kantor tidak pernah dibawa ke rumah. Membaca koran merupakan sarapan
sehari-harinya di kantor, mendengarkan radio selalu dilakukan di sepanjang
perjalanan, acara Seputar Indonesia di RCTI tidak ditinggalkan.
***
BAGI wartawan, sosok
pejabat yang memiliki tinggi 170 cm ini sudah dikenal sangat akrab. Kapan saja
wartawan bisa menghubungi melalui pesawat telepon. Dan, pensiunan jenderal berbintang
satu ini tidak segan-segan menerimanya.
Cara pendekatannya dengan
wartawan memang terasa cukup unik. Setiap kali bertemu dengan wartawan bukan
berita baik yang diminta, tetapi justru yang buruk-buruk. "Kalau berita
yang baik-baik, saya tidak senang," tegasnya.
Ia juga merasa banyak
dibantu wartawan, baik dari info maupun koreksi. Melalui wartawan, ia bisa
menyalurkan kebijakan keimigrasian dan selama Sinuraya menjabat sebagai dirjen,
berita-berita tentang keimigrasian cukup menonjol.
Sikap terbuka dengan
wartawan ini sudah nampak ketika ia mulai menduduki jabatan Komandan Korem
Pamungkas yang meliputi wilayah Kedu dan Yogyakarta tahun 1983-85. Di antaranya
dalam peristiwa peledakan Candi Borobudur yang memprihatinkan dunia dan
perkelahian massal pemuda Kauman dengan anggota Batalyon 403 Kentungan di
Yogyakarta.
Meskipun sudah terbuka,
namun putra petani dari keluarga Ngarasi Sinuraya ini sangat memegang teguh
disiplin ABRI. Karier di dalam kemiliteran yang berkaitan dengan masalah
intelijen dirasakan sangat menunjang tugas di lingkungan keimigrasian.
Tahun 1975-78, ia
menjabat sebagai Waas Intel Kodam Diponegoro dan selanjutnya Asisten Intelijen
(Asintel) Kodam Lambung Mangkurat sampai tahun 1980 sebelum memangku jabatan
Asintel Kodam Diponegoro (1980-83). Jabatan lain yang pernah dipegang, antara
lain Komandan Batalyon Zipur/9 Para Kostrad di Ujungberung, Bandung (1972),
Komandan Kodim Wonogiri (1973-74), dan Komandan Kodim Solo (1974- 75).
Demikian pula
aktivitasnya dalam kemiliteran, seperti aktif terlibat dalam operasi penumpasan
pemberontakan PRRI/Permesta di Sumbar (1959), DI/TII di Jabar dan Sulsel,
selain G 30 S/PKI.
***
BANYAK yang sudah
dikerjakan, namun masih lebih banyak lagi yang belum bisa dikerjakan. Demikian
ungkapan filosofis yang menunjukkan kerendahan hati Roni Sikap Sinuraya. Sudah
cukup yang dikerjakan, dalam masa jabatan yang terlama setelah Widigda
Soedikman SH memimpin Direktorat Imigrasi selama sembilan tahun (1965-1974).
Sejak mulai menjabat
sebagai Dirjen Imigrasi, Roni Sikap Sinuraya sudah memprioritaskan pembentukan
Undang-undang Keimigrasian yang sudah tujuh tahun dipersiapkan. Tahun 1992
undang- undang itu akhirnya berhasil dibuat dan bahkan kemudian tahun 1994
ditindaklanjuti dengan peraturan pemerintah. Bahkan tanggal 15 Februari lalu
terbit Peraturan Menteri dan petunjuk pelaksanaannya.
Tahun 1992, ia menghapus
exit permit bagi warga negara Indonesia yang akan keluar negeri. "Saya
baru tahu produk warisan penjajah Belanda ini sebenarnya digunakan untuk
mencegah ekstremis Indonesia ke luar negeri. Sedangkan bagi kita ekstremis ini
adalah pejuang-pejuang," kata Roni.
Namun, ia juga menyadari
masih banyak keterbatasan, antara lain masalah tenaga kerja, juga sarana dan
prasarana, sedangkan biaya negara sangat terbatas. Untuk mengatasi kekurangan
ini Ditjen Imigrasi sudah mengusulkan sistem komputerisasi yang on-line di
seluruh jajaran imigrasi yang disebut dengan Simkim (Sistem Informasi dan
Manajemen Keimigrasian).
Ide yang diajukan tahun
1992 ini sudah diterima Bappenas awal tahun 1994 dan diharapkan nanti bisa
menjadi bagian dari sistem manajemen nasional. "Simkim ini sudah masuk
blue book Bappenas. Sistem on-line seluruh Indonesia ini dilakukan dengan
menyewa transponder satelit Palapa," tutur Sinuraya yang mengharapkan akan
direalisasikan oleh dirjen yang baru.
Hal ini sangat penting
mengingat Indonesia memiliki sekitar 100 pintu masuk, 25 di antaranya adalah
pintu masuk udara. Dengan sistem ini sangat mudah untuk mengetahui jumlah orang
asing yang berada di Indonesia pada saat-saat tertentu dalam waktu singkat.
Roni Sikap Sinuraya
merasa sangat optimis dengan penggantinya, Mayjen Pranowo yang dinilainya lebih
baik daripada dirinya dalam segala hal. "Jangan khawatir, aji-aji atau
jimat saya sama dengan Pak Pranowo, yaitu UUD 45, Pancasila, dan Sumpah
Prajurit," kata Sinuraya mengomentari tentang penggantinya.
Meskipun demikian ia
masih memberikan pekerjaan rumah, selain merealisasikan Simkim, juga
mendekatkan diri dengan pihak yang membutuhkan pelayanan keimigrasian. Prinsip
abdi negara dan abdi masyarakat, berarti harus siap memberikan pelayanan, siap
menjadi pesuruh, siap menjadi batur. (AW Subarkah)
KOMPAS edisi Kamis 16
Maret 1995, Halaman : 20
Penulis: SUBARKAH, AW
Blog : karosiadi