Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Asal Mula Padi Di Karo (Si Beru Dayang)



Karo Unik - Sejarah darimana datangnya padi di Karo sampai saat ini masih belum di ketahui dengan pasti. Namun banyak pendapat-pendapat para ahli menerangkan asal mula padi di Karo. Menurut Brandes bahwa penanaman padi di sawah di mulai sejak sebelum pengaruh kebudayaan Hindu-Buddha datang ke Karo. (Brandes, 1889 dalam Ferdinandus,1990:426). Ini diperkuat lagi dengan peninggalan-peninggalan yang masih di lihat dalam masyarakat Karo yaitu marga-marga yang ada di Karo. Sembiring Brahmana, Colia, Pandia, Manik, Dan Lingga. Dan sampai sekarang marga-marga ini masih di gunakan oleh orang Karo.

Pendapat lain mengatakan bahwa penanaman padi dengan system perladangan diperkirakan  di kenal oleh orang Karo jauh sebelum sekitar 2500-1500 SM, yaitu bersamaan masuknya kebudayaan megalituk tua ke Indonesia (Golden, 1945:138-141). Namun dalam teorinya ini masih ada keraguan karena tidak disertakan dengan bukti-bukti yang kuat.

Namun ada satu cerita dalam kebudayaan Karo bahwa padi itu berasal dari Beru Dayang. Awalnya nenek moyang orang Karo hidup di hutan-hutan belantara dan berpindah-pindah. Dan yang menjadi  makanan mereka adalah buah-buah pohon masak yang ada di hutan, dimana merka menemukan buah disitulah mereka tinggal sampai buah tersebut habis.  Dan Karena buah itu, sering terjadi pertengkaran sesama mereka dan saling membunuh. Artinya makananlah yang membuat mereka sering bertengkar.

Hal ini dilihat oleh dibata maka ia berkata kepada Beru Dayang Jile-jile (nama dewi padi) yang menjadi perantara untuk manusia.

“Bawalah benih padi dan ajarilah manusia untuk menanam padi supaya padilah yang menjadi makanan mereka nantinya, agar mereka tidak bertengkar dan memperebutkan buah pohon dan tidaklagi hidup berpindah-pindah ketika buah pohon itu habis dan kesulitan mencari buah pohon yang masak”.

Lalu sujudlah  Beru Dayang dengan tangan kiri dan kanan menyatu serta menundukan kepalanya dan berkata “apa yang Dibata perintahkan padaku akan ku lakukan untuk manusia”
Maka turunlah Beru Dayang  ke bumi dengan membawa benih yang akan diberikan kepada manusia.

Maka sampailah ia di bumi ini karena kuasa dan kekuatan yang diberikan kepeda Beru Dayang yang menjadi perantara Dibata dengan manusia. Maka berkumpullah semua manusia baik dari Timur dan Barat. Setelah semuanya berkumpul maka berkatalah Beru Dayang  kepeda mereka “bagi kamu semua manusia sekarang akan ku berikan benih padi kepadamu supaya kamu tanam agar padi inilah yang akan menjadi makananmu. Dan aku akan mengajari cara menanambenih padi ini”. Maka merekapun diajari untuk menanam padi itu.

Mereka juga diajari bagaimana cara mengurus padi yang baik, begitu juga setelah padi di panen dan bagaimana cara menumbuknya begitu juga dengan memesaknya.

Semua padi yang ditanam manusia itu  sangat subur sekali karena berkat pengajaran dari Beru Dayang dan hasilnya sangat melimpah ruah. Maka setelah itu pulanglah Beru Dayang ke asalnya. Dan ini memang diakui terlihat dalam nama-nama padi yang ada di Karo.

  • Jenis-jenis padi itu adalah :
a.       Beru Dayang Rungun-rungun (nama padi yang telah ditanam)
b.      Beru Dayang Buninken (nama padi yang telah ditanam dan di tutup)
c.       Beru Dayang Malembing (nama padi setelah daunnya mirip lembing)
d.      Beru Dayang Meduk-meduk (nama padi setelah daunnya rimbun dan daunnya melengkung ke bawah)
e.       Beru Dayang Kumerket (nama padi setelah bunting)
f.       Beru Dayang Perinte-rinte (nama padi setelah daunnya menguning)
g.      Beru Dayang Pegungun (nama padi setelah di panen dan di jemur)
Dan nama jenis padi ini masih di gunakan oleh orang Karo sampai sekarang.

  • Padi Sebagai Makanan Pokok di Karo
Sama seperti Jepang, bagi orang Karo padi juga merupakan sesuatu yang penting dan wajib. Apalagi rata-rata mata pencaharian orang Karo adalah bertani. Padi juga menjadi makanan utama orang Karo. Dalam sehari mereka makan nasi tiga kali, bahkah ada yang makan 5-6 kali sehari. Mereka makan banyak karena harus memiliki tenaga yang banyak untuk bekerja.

Kebiasaan utama bagi orang Karo adalah menyimpan sebagian padi untuk perayaan-perayaan tertentu. Biasanya ada tempat khusus untuk menyimpan padi yaitu dalam lumbung yang disebut dengan  “keben”. Kebiasaan ini di turunkan oleh nenek moyang dan sampai sekarang masih dilakukan. Padi digunakan dalam merayakan pesta tahunan “kerja tahun”,  memasuki rumah baru dan acara-acara khusus dalam pernikahan dan adat anak  lahir. Jadi padi merupakan lambang ritual-ritual Karo.

  • Cara memasak nasi pada zaman dahulu dengan sekarang.
Pada zaman dahulu nasi dimasak dalam periuk khas karo yaitu Kudin Taneh, cara memasaknya beras dimasukkan beserta air dan di naikkan ke atas api. Sekarang nasi sudah di masak dalam periuk-periuk biasa dan setelah mendidih dimasukkan lagi ke kukusan nasi. Bagi orang Karo nasi yang sudah masak disebut dengan“nakan” dan apabila menjadi bubur disebut dengan nakan dak-dak, dan biasanya ini dibuat khusus untuk orang yang sedang sakit. Nasi bubur ini juga menjadi makanan untuk anak-anak yang baru lahir dan ketika memasaknya di campur dengan wartel, kentang, tomat dan bahan-bahan lain.

Dalam perayaan tahunan biasanya ada makanan khas yaitu  Rires, cimpa gabur, tape.
Rires adalah makanan khas orang Karo (makanan yang dimasak dalam bambu), bahan dasarnya adalah beras yang dicampur dengan garam, lada, kunyit, jahe, dan santan kelapa yang sudah diperas. Dan setiap keluarga wajib membuatnya karena ini juga menjadi lambang ada atau tidaknya malapetaka yang menimpa seseorang. Rires biasanya dimasak dalam bambu muda dan dibakar, apabila sesudah masak warnanya kuning dan bagus serta rasanya pas di lidah maka tidak akan ada malapetaka. Apabila mentah dan warnanya pucat serta rasanya juga tidak pas maka akan ada malapetaka.

Cimpa juga merupakan makanan khas bagi masyarakat Karo, dan ini juga dibuat setiap perayaan tahunan ”kerja tahun”. Cimpa juga bahan dasarnya adalah beras, dan cara membuatnya sama seperti membuat shitogi (kue Jepang) dimana tepung beras diuleni dengan air sampai lembut setelah itu di balut dengan daun singkut atau daun pisang. Setelah itu dimasak. Biasanya cimpa untuk di sajikan dicampur dengan gula merah biar rasanya lebih manis dan enak. Cimpa ini dinamakan dengan “cimpa pulut”.

Cimpa yang biasanya dijadikan persembahan kepada dewa atau roh-roh orang yang sudah meninggal adalah “cimpa gabur”. Bahan dasar dari cimpa ini adalah tepung beras, namun pada zaman dahulu biasanya beras yang diambil dari panen pertama dan di tumbuk kemudian dikepal sebesar kepalan tangan tanpa diberi campuran apapun. Sekarang karena membuatnya terlalu rumit dan capek maka sudah dibuat dari tepung bers yang di beli dan dicampur dengan gula. Tujuannya agar kalau dewi memakan kue ini rasanya manis maka dewi pasti juga akan memberikan rejeki yang manis pula.

Makanan lain yaitu “tape” yang juga bahan dasarnya adalah beras. Tapi khusus untuk membuat makanan ini biasanya berasnya harus yang asli, makanya masih ada orang yang menanam padi sedikit hanya untuk bahan membuatnya. Dan selama membuat makanan ini tidak bisa mengeluarkan bau yang busuk karena bisa tidak jadi. Apabila rasanya manis maka dipercayai panen berikutnya pasti berhasil. Namun sekarang ini sudah  jarang dibuat karena caranya terlalu rumit, dimana harus dibungkus dengan lapisan yang tebal agar panas. Dan butuh waktu satu malam penuh untuk masak, dan  selama itu tidak boleh disentuh apalagi dibuka.

Jadi yang masih dilestarikan pembuatannya adalah rires (kue dalam bambu), dan  cimpa pulut saja. Dan ini setiap perayaan kerja tahun pasti ada di jumpai.

  • Padi Dalam Kepercayaan Orang Karo
Di Jepang yang dipercayai sebagai utusan dari dewa Inari adalah rase, di Karo yang di percayai utusan dari dewi padi  Beru dayang adalah  Kalimbubu, Anak beru, dan Senina.

Kalimbubu adalah kelompok pemberi dara bagi keluarga (marga) tertentu. Dalam kehidupan sehari-hari sering juga disebut sebagai Dibata ni Idah (Tuhan yang bisa dilihat), karena kedudukannya yang sangat di hormati. Dan sejarah dari penghormatan kepada kalimbubu ini berasal dari perintah dewi  Beru dayang sewaktu di datang ke bumi memberikan benih. Dan apabila ingin mendapat hasil padi yang melimpah maka benihnya harus diminta dari kalimbubu itu.

Makanya sampai sekarang apabila ingin menanam benihnya di minta dari kalimbubu. Dan bisanya untuk meminta benih itu, orang yang bersangkutan membawa sesajen atau persembahan berupa cimpa gabur, beras, ayam kampung yang berwarna putih dan semuanya diletakkan di piring yang berwarna putih juga yang disebut dengan pigan pasu.
Kalimbubu di ibaratkan sebagai padi yang ditanam yang dapat menghasilkan panen yang melimpah, jadi dia harus benar-benar dihormati dan disembah.

Anak beru dipercayai dapat menjaga padi dari serangan hama, kerbau, kambing. Anakberu diibaratkan sebagi pagar yang melindung padi. Anak beru berarti anak perempuan, dan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Karo dikenal sebagai kelompok yang mengambil istri dari kelurga  (marga) tertentu.

Bahkan anak beru juga dipercayai dapat menjaga kerukunan dalam rumah tangga. Maka anak beru juga sangat dihormati dan disembah juga, karena kalau tidak maka dia bisa marah dan pasti hasil padi akan gagal karena dimakan oleh serangga atau kerbau.

Senina juga diyakini sebagai wakil dari beru dayang. Senina adalah orang-orang yang satu kata dalam permusyawaratan adat Karo.  Se berarti satu,  nina berarti kata atau pendapat, orang yang bersaudara. Senina dipercayai di ibaratkan sebagi pelindung dan penopang padi agar  tidaksampai ke tanah apabila angin berhembus. Jadi dia juga harus dihormati.

Sebagai wujud penghormatan kepada  kalimbubu, anak beru dan senina maka di buatlah suatu perayaan yang disebut dengan kerja tahun itu.