Inilah 3 Perwujuda Tuhan (Dibata) Kalak Karo Zaman Dulu
Riong Medan News - Kepercayaan Karo lama yang bersifat politeisme, tidak mengenal
perbedaan agama. Namun seiring dengan terjadinya keterbukaan dalam masyarakat
Karo, kepercayaan yang bersifat politeisme berubah menjadi monoteisme.
Dahulu banyak penyebar agama Kristen dan Islam kesulitan mengembangkan misinya, hal
ini karena struktur adat budaya masyarakat Karo yang tidak mengenal
perbedaan kepercayaan. Kini kepercayaan yang bersifat politeisme telah berubah
menjadi monoteisme ini yaitu berdasarkan Kristen Katolik, Protestan, Islam,
dan Hindu.
Sebenarnya sebelum kedatangan agama Kristen dan Islam masuk dalam kehidupan masyarakat
Karo, peradapan masyarakat Karo telah mencapai tingkatan transendental yaitu
percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang menciptakan segala yang ada di bumi dan
di alam jagat raya ini. Bukti adanya kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa
ini adalah dilakukannya pemujaan di tempat-tempat tertentu
seperti di bawah pohon kayu yang besar, pada batu-batu yang besar.
Tingkat kebudayaan yang transdental ini ditandai dengan adanya tiga perwujudan
Tuhan (Dibata):
1. Dibata Kaci-Kaci (Dibata Datas = Tuhan yang berkuasa di langit). Tuhan
yang menguasai alam yang di atas.
2. Dibata Padukah Ni Aji (Dibata Tengah = Tuhan yang berkuasa di bumi). Tuhan yang menguasai
alam bagian tengah yaitu Bumi.
3. Dibata Banua Koling (Dibata Teruh = Tuhan yang berkuasa di bawah
bumi). Tuhan yang menguasai bawah tanah.
Kini kepercayaan ini sudah ditinggalkan. Masyarakat Karo sudah banyak
yang menganut agama Protestan, Katolik, Islam. Pengaruh perubahan
kepercayaan dalam kehidupan sehari-hari terlihat pada upacara perkawinan,
upacara perkawinan bukan lagi melulu urusan kaum kerabat dalam hal ini daliken
si telu, tetapi telah menjadi urusan pemuka agama, malah mereka yang yang
mendahului upacara perkawinan ini.
Demikian patuhnya masyarakat Karo kepada agamanya, sampai-sampai
dalam surat undangan perkawinan pun dicantumkan gambar gereja, atau mesjid. Oleh pemerhati
budaya Karo, perilaku seperti ini menimbulkan tanda tanya, seperti yang
dialami oleh Brahmana (1996) di bawah ini:
Hal kedua, yang menarik perhatian adalah bentuk musyawarah itu sendiri
yang tercantum pada surat undangan. Sepanjang pengetahuan penulis jika
dalam suatu musyawarah adat, bila sudah hadir unsur sangkep sitelu, yaitu telah
hadir Sembuyak/Senina, Anakberu dan Kalimbubu apapun keputusan musyawarah
itu sudah sah. Tapi kini sebagian orang Karo cenderung menambah satu unsur
lagi yaitu unsur agama yang lazim disebut runggun gereja (musyawarah
gereja, pen).
Kadang-kadang dalam hati saya bertanya apakah kini keberadaan
musyawarah adat Karo itu tidak diakui jika tidak dihadiri dari unsur gereja? atau
barang kali ada anggapan kalau tidak ada (dicantumkan) unsur keempat (runggun gereja)
dalam undangan itu dianggap orde lama atau tidak modern? Kiranya bagi mereka
yang ingin meneliti perobahan sosial budaya pada masyarakat Karo dewasa ini sebagai dampak dari
pembangunan, persoalan ini tentu sangat menarik untuk diteliti atau dikaji lebih
dalam, mengapa ada sebagian orang Karo kini cenderung mencantumkan runggun gereja
dalam undangan kerja adat.
Apakah memang runggun gereja ini paling aktif dalam runggun adat Karo
itu atau paling banyak memberikan sumbangan pikiran dalam musyawarah adat itu? Sepanjang yang saya
ketahui, sejauh musyawarah runggun adat yang pernah saya hadiri, kalaupun
mereka (runggun gereja itu) hadir tidak pernah mau bicara soal adat. Mereka tetap
membisu seribu bahasa. Ini memang wajar, karena bukan bidang mereka. Mereka
paling-paling ditanya soal persiapan pasu-pasu di gereja. Dalam musyawarah
pendahuluan duka cita (ceda ate) tugasnya hanya sekedar liturgi saja atau
mengadakan doa saja menjelang dibawa ke kuburan. Memang ada juga kadang-kadang
berbicara runggun gereja, tapi bagaimanapun waktu yang diberikan kepada
unsur agama ini sangat singkat sekali dibandingkan dengan waktu yang diberikan kepada
unsur adat.
Sampai saat saya menulis naskah ini saya belum dapat memahami apa
maksud dicantumkannya unsur runggun gereja dalam musyawarah adat Karo ini,
sebab seperti telah disebutkan di atas, keputusan musyawarah Sangkep Sitelu
itu sudah sah menurut hukum adat Karo. Saya berpendapat keputusan Sangkep Sitelu
itu tanpa runggun gereja bukan berbau orde lama seperti pendapat sementara
orang. Menurut hemat saya, adat itu bukan agama, demikian sebaliknya, agama
bukan adat. Mencampur adukkan agama dan adat membuat persoalan menjadi kabur
dan tidak harmonis di samping adat itu tidak asli lagi.
Singkatnya mencampurkan adat dengan agama berdampak semakin longgarnyaintegrasi
sosial masyarakat Karo, memperlonggar rasa kekerabatan sesama suku Karo, sebab ada
kecenderungan dalam diri penganut agama, hilangnya/menipisnya rasa toleransinya
kepada yang berbeda agama.
Demikian mendasarnya pengaruh agama dalam kehidupan sehari-hari masyarakat, walaupun
perannya tidak jelas di dalam pelaksanaan adat istiadat, tetapi dianggap
berperan, jauh melebihi adat istiadat.