Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Tarombo Bangso Batak Sebagai Strategi Pembatakan


Riong Medan News - Mulai dari tokoh tunggal yang menjadi puncak tarombo sudah bermasalah ditambah dengan tarombo yang menghubungkan Si Raja Batak dengan Toba dan dengan Pakpak, Karo, Simalungun, dan Mandailing membuat semakin bermasalah. Pakpak, Karo, Simalungun, dan Mandailing dijadikan menjadi keturunan marga-marga Toba yang pada akhirnya berpuncak kepada Si Raja Batak yang menurunkan mereka semuanya. ‘Ypes mengatakan bahwa Pakpak, Karo, Simalungun, Angkola Mandailing berasal dari suku Toba, demikian juga dialeknya’ (Siahaan & Pardede, 19..:15, 48). Seperti telah dikemukakan sebelumnya, bahwa Karo, Simalungun, Mandailing, dan Pakpak terbukti tidak berasal dari Sianjur Mulamula, sehingga sama sekali bukan keturunan Si Raja Batak. Leluhur Karo, Simalungun, Mandailing, dan Pakpak lebih tua dari Si Raja Batak. Tarombo tersebut mempersatukan masyarakat non-Melayu tersebut menjadi sebuah etnis, yaitu Etnis Batak dengan sub-etnik: Batak Toba, Batak Karo, Batak Simalungun, Batak Mandailing, dan Batak Pakpak.

Membuat perbandingan antara Si Raja Batak dengan suku lain seperti Gayo akan memperlihatkan betapa terlalu cepatnya pertumbuhan keturunan Si Raja Batak, sehingga patut dipertanyakan kebenaran tarombo tersebut. Kemudian telah diperlihatkan betapa tidak masuk akalnya kalau hanya sepasang manusia yang datang bermigrasi ke Sianjur Mulamula, karena tidak masuk akal kalau hanya sepasang menjadi pendukung sebuah budaya seperti budaya Dong Son. Selain itu, Karo, Simalungun, Mandailing, dan Pakpak memiliki ciri budaya yang berbeda dengan Toba, apalagi Karo sudah dilakukan tes DNA di mana Y-DNA Haplogroup dari Karo yaitu: C-RPS4Y*, O-M95, O-M119, dan R-M173. Y-DNA dari Karo ini terbukti sama sekali bukan diturunkan oleh marga-marga Toba seperti dibuat dalam tarombo Si Raja Batak tadi (Lihat: Edward Simanungkalit, KARO DAN NIAS BUKAN KETURUNAN SI RAJA BATAK; INI BUKTINYA, dalam Kompasiana, 24/03-2016)

Tarombo dengan nenek-moyang tunggal Si Raja Batak memiliki keturunan Bangso Batak, yaitu: Batak Toba, Batak Karo, Batak Simalungun, Batak Mandailing, dan Batak Pakpak. Ini merupakan usaha mempersatukan seluruh masyarakat non-Melayu dalam satu nama “Batak” yang harus dibedakan dengan “Melayu”. Jelas, pelabelan ini seperti yang dikemukakan oleh beberapa pakar sebelumnya, yaitu: label Melayu dan label Batak. Pelabelan ini dikonstruksi oleh Belanda dan secara khusus di Toba turut juga dikonstruksi oleh misionaris Jerman. Si Raja Batak, yang tarombonya dibuat oleh Belanda melalui tangan W.M. Hutagalung sebagai pesanan Belanda, tampak sekarang merupakan upaya konstruksi nama “Batak” terhadap masyarakat non-Melayu. Tokoh mitos Si Raja Batak dibuat namanya dengan memakai kata “Batak”, jelas adalah buatan Belanda untuk keperluan konstruksi tersebut. Jadi, Si Raja Batak sebenarnya tidak ada dan itu hanya tokoh ciptaan Belanda dalam mengkonstruksi atau dalam rangka pembatakan masyarakat non-Melayu tersebut. Setelah misionaris Jerman dan kolonial Belanda berhasil mengkonstruksi Toba menjadi “Batak” yang dimulai sejak mereka berkiprah di Negeri Toba tahun 1862 dan kolonial Belanda ingin memperkokoh pembatakan tersebut dengan memerintahkan penerbitan buku W.M. Hutagalung (1926) dan buku K.W.H. Ypes (1932).

Sejak awal abad ke-19, sebelum buku W.M. Hutagalung diterbitkan pada tahun 1926, Belanda mulai menggerakkan orang-orang Toba dari Negeri Toba bermigrasi ke Tanah Simalungun. Migrasi ini sepenuhnya diback-up dan diarahkan oleh Belanda dan RMG dengan diadakannya sebuah pos yang mengurusi migrasi ini di bawah pimpinan Andreas Simangunsong. Hingga terjadilah migrasi besar-besaran dari Negeri Toba ke hamper seluruh Tanah Simalungun. Hingga pada tahun 1920 saja di daerah ‘Ondeafdeling Simalungun’ sudah ada 21.832 jiwa orang Toba, dan 69.852 orang Simalungun. Antara tahun 1950-1956 hampir 250.000 orang Toba telah bermigrasi meninggalkan kampung halamannya. Demikian juga orang-orang Toba bermigrasi dari Negeri Toba ke Tanah Pakpak dan sebagian diteruskan hingga ke Tanah Alas. Menurut sensus tahun 1930 terdapat 1.789 orang Toba di Tanah Alas, sedang pada tahun 1934 sudah mencapai 3.500 orang Toba di Tanah Alas. Tahun 1954 orang Batak Toba di Tanah Alas mencapai 14.790 jiwa. Tahun 1974 jumlah penduduk Tanah Alas sebanyak 91.303 jiwa terdiri dari orang Alas (45%), Toba (35%), sedang suku lain-lain berkisar 20% (O.H.S. Purba dan Elvis F. Purba, 1998:6-27). Migrasi yang berlangsung dari Negeri Toba ke Tanah Pakpak dan Tanah Simalungun ini tentulah juga menimbulkan banyak permasalahan yang bagi orang Pakpak dan orang Simalungun sebagai penduduk asli. Untuk masalah-masalah di Tanah Pakpak ini, Budi Agustono telah menulis desertasi berjudul: “Rekonstruksi Identitas Etnik: Sejarah Sosial Politik Orang Pakpak di Sumatera Utara 1958-2003” (2010). Sedang Pdt. Dr. Martin Lukito Sinaga juga banyak membahas tentang migrasi Orang Toba ke Tanah Simalungun di dalam bukunya: “Identitas Pos Kolonial ‘Gereja Suku’ dalam Masyarakat Sipil” (2004). Semua migrasi Toba ini diikuti oleh misionaris Jerman/RMG yang diikuti dengan mendirikan gereja-gereja bagi para migrant ini. Di Dairi, penjajah Belanda menetapkan persyaratan bagi yang mau dilantik untuk menempati suatu jabatan haruslah dibaptis dulu sebelumnya dan mau menerima tarombo Bangso Batak, sehingga mulailah terjadi proses Tobanisasi. Bataknisasi = Kristenisasi (misi terselubung misionaris)?