Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

MUKIDI : Plis Baca Humor Gue (Part 1)



Riong Medan News, Homor - Meski belum jelas siapa Mukidi sebenarnya, tapi kisah Mukidi sudah menyebar ke mana-mana. Katanya sih, Mukidi asalnya dari Cilacap dan mempunyai istri bernama Markonah. Anaknya dua orang, yaitu Mukirin yang sudah  remaja dan Mukiran yang masih duduk di bangku sekolah dasar. 
Humor soal Mukidi ini memang banyak macamnya. Dilansir dari Ceritamukidi, berikut kisah-kisah lucu Mukidi yang mungkin belum pernah Anda dengar sebelumnya.


No Mercy
Mukidi melihat mbah Kartinem sedang kebingungan di kantor pos.
“Bisa saya bantu, Nek?”
“Tolong pasangin perangko sama tulis alamatnya, Nak.”
“Ada lagi, Nek?”
“Bisa bantuin tulis isi suratnya sekalian?” Mukidi mengangguk. Si mbah lalu mendiktekan surat sampai selesai.
“Cukup, Nek?”
“Satu lagi, Nak. Tolong di bawah ditulis: maaf tulisan nenek jelek.”


When The Cookie Jar is Empty 2
Markonah belanja untuk bikin kue lebaran.
“Mas ada terigu?”
“Gak ada, Bu”
“Telur?”
“Kosong, Bu?”
“Gula pasir?”
“Habis.”
“Terigu gak ada, telor kosong, gula pasir habis. Kenapa gak ditutup saja tokonya?”
“Kuncinya gak ada, Bu.”


When The Cookie Jar is Empty
Markonah berbelanja untuk bikin kue lebaran.
“Mbak ada tepung terigu?”
“Gak ada, Bu.”
Markonah keluar. Lima menit balik lagi.
“Gula pasir ada, Mbak?”
“Gak ada, Bu.”
Markonah keluar lagi, tidak lama kemudian kembali lagi.
“Kalau telur gak ada juga?”
“Iya Bu, gak ada.”
“Koq aneh sih, tepung gak ada, gulapasir gak ada, telur gak ada?”
“Ibu salah masuk, Bu. Ini apotek….”


Quit
“Hebat. Pak Mukidi sudah berhenti merokok, ya?”
“Betul. Teman saya mati karena rokok.”
“Dia kena kanker?”
“Bukan, Dok. Motornya ditabrak mobil box Gudang Garam.”


The Reason
"Saya bersyukur Pak Mukidi akhirnya berhenti merokok.”
“Yah, itu berkat istri saya. Istri saya masuk rumah sakit gara-gara rokok…”
“Wah, Anda benar-benar sayang istri…”
“Bukan! Istri saya bolak-balik menyuruh saya berhenti merokok. Lama-lama saya kesal, asbak saya lempar, kena mukanya, saya terkena pasal KDRT, masuk penjara 3 bulan….”


Fair
Selesai berbuka puasa di warung Padang, Mukidi menghampiri pemiliknya.
“Uda, pernah dengar gak hadis yang mengatakan bahwa memberi makan orang yang berpuasa pahalanya sama dengan pahala orang yang berpuasa?”
“Ya, saya sering dengar. Tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa sedikit pun,” jawab uda Asman (Asli Pariaman).
“Syukurlah, Uda rupanya sering ngaji ya?”
“Memangnya kenapa?”
“Dompet saya ketinggalan……”


Safety
Siang hari Mukidi masuk ke warteg.
“Assalamualaikum…” Tidak ada sahutan, “mana yang punya warung nih?”
Mas Asrawi si pemilik warung tergopoh-gopoh menemui pelanggannya, “Ya, Pak?”
“Mas, ini kan bulan Ramadan, koq gak tutup?”
“Lha, kalau tutup kan kami gak makan pak? Bagaimana karyawan saya?” jawab Asrawi (Asli orang Slawi).
“Yah, tapi hormati dong orang yang lagi puasa. Ditutup layar kek, biar gak kelihatan dari luar.” Asrawi buru-buru mengambil spanduk bekas kampanye parpol untuk menutupi warungnya.
“Nah begitu kan lebih baik, jadi orang yang sedang makan tidak kelihatan dari luar,” sahut Mukidi sambil duduk, “nah sekarang saya minta sayur, pakai ikan tongkol, nasinya separo saja….”


Mealstone
Seorang pria sok akrab tiba-tiba mendekati Mukidi sambil mengulurkan tangan.
“Loh, kamu kan… aduuuuh sudah berapa tahun gak ketemu ya?”
“Mukidi.” Mukidi menjawab lalu menerima uluran tangan pria misterius tadi sambil berpikir keras.
“Ya… ya Mukidi… aduuuh masa lupa sih? Sungib… Sungib teman SMP, masih ingat Tasripin, Kamid, Wartam….”
Mukidi masih bingung tapi asal mengangguk gak apalah pikirnya, sambil mengingat-ingat nama-nama aneh itu.
“Wah, sudah hampir Maghrib nih, kita buka bersama yuk?” ajak teman barunya itu.
“Aku… eh sebetulnya mau buru-buru pulang..” Mukidi pura-pura menolak…
“Ayolah sekalian bernostalgia.” Mukidi yang lagi bokek ikut aja ke warung Padang, lagi pula sejak kasus daging sapi impor dia sudah tidak pernah makan dendeng balado.
Setelah adzan berkumandang, mereka menikmati takjil gratis lalu apa saja yang di dekatnya diembat, Mukidi tidak lupa pesan jus duren. Dia sudah lupa menanyakan jati diri temannya tadi.
“Ayo Di, sikat saja…” Sungib juga tak kalah beringas mengambil lauk di hadapannya. Beberapa saat kemudian dia berhenti. "Eh, ngomong-ngomong aku ke musala dulu ya, nanti gantian. Kamu terusin makan aja, habiskan jusmu.” Mukidi mengangguk.
Sungib yang rupanya ahli ibadah itu rupanya lama juga di musala. Sudah lebih 30 menit. Mukidi sudah khawatir kehabisan waktu Maghrib.
“Uda,” dia memanggil pelayan, “musalanya di sebelah mana?”
“Wah, gak ada mushola pak, adanya masjid 50m dari sini…”
“Teman saya tadi mana?”
“Teman yang mana pak?”


Ain't No Kermit
“Mas tadi waktu bukber pada cekikikan ngomongin kodok apaan sih?” tanya Markonah.
“Dulu sekali, aku, Wakijan, Samingan sowan ke mbah Joyongablak nanyain masalah jodoh,” jawab Mukidi
“Waktu kami pulang, mbah Joyo berpesan: ‘Ati-ati jangan sampai nginjek kodok.’ Celakanya walaupun sudah berhati-hati, Wakijan nginjek kodok. Gak lama, Samingan juga nginjek kodok. Cuma aku yang selamat sampai rumah tanpa nginjek kodok.”
“Memang kalau nginjek kodok kenapa?”
“Yah tadinya mereka berdua cemas, tapi lama-lama kata-kata mbah Joyo dianggap cuma takhayul. Eh, 5 tahun kemudian setelah mereka kawin bininya jelek-jelek, bawel. Rupanya gara-gara nginjek kodok, kata-kata simbah terbukti. Kamu percaya gak, Nah?”
“Percaya sih, Mas. Aku dulu juga nginjek kodok….”