Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Tahapan Pernikahan Dalam Adat Karo



Ada dua cara yang dapat ditempuh di dalam suatu perkawinan, yaitu melalui perantaraan orang tua, setelah lebih dahulu mengadakan pendekatan terhadap sicalon, artinya orang tua sipemuda mengadakan lamaran terhadap orang tua si gadis, dan yang kedua yaitu antara si pemuda dan si gadis telah berlangsung ikatan percintaan melalui hubungan muda-mudi. Cara yang ditempuh tersebut adalah sebagai berikut ( Prinst, Darwin, 2004:88-128).

a. Nangkih
Setiap permulaan suatu perkawinan, ditandai dengan suatu kegiatan yang disebut ”nangkih”, yaitu pada suatu hari yang telah ditentukan si pemuda membawa si gadis kerumah pihak keluarganya dengan diantar satu atau dua orang. Biasanya si gadis dibawa pemuda kerumah keluarganya sendiri yaitu ke rumah Anak Berunya. Cara demikian dimaksudkan agar pihak anak berunya secara langsung mengetahui maksudnya dan sekaligus mengambil langkah-langkah seperlunya. Dalam hubungan ini anak beru yang bertanggung jawab menghubungi keluarga si gadis yaitu pihak anak beru si gadis dan orang tuanya untuk mengatur acara adat selanjutnya.

b. Maba Belo Selambar
Maba belo selambar adalah upacara meminang gadis menurut adat Batak Karo. Tujuannya dalah untuk menanyakan kesediaan si gadis, orang tua, sembuyak, anak beru, kalimbubu atas pinangan tersebut.

c. Nganting Manuk (Muduni/Maba Luah)
Acara nganting manuk adalah suatu acara yang diadakan sebagai kelanjutan maba belo selambar untuk membicarakan tentang besarnya gantang tumba/unjuken (mas kawin/ganti gigeh) yang harus diterima oleh pihak perempuan. Untuk itu, dalam acara ini harus hadir sangkep geluh (keluarga dekat) dari masing-masing pihak. Gantang tumba/unjuken itu ternyata juga tidak sama untuk setiap wilayah. Setelah selesai membicarakan gantang tumba/unjuken (mas kawin), maka pembicaraan dilanjutkan mengenai hari pelaksanaan pesta dan ose (pakaian adat). Maksudnya dimana pesta akan dilakukan, pukul berapa, ose (pakaian adat) yang akan dipakai oleh penganten, orang tua (nande/bapa) sembuyak dan senina serta tanda-tanda untuk anak beru.

d. Kerja Nereh Empo (Pesta Adat Perkawinan)
Pada hari yang telah ditentukan diadakanlah pesta adat perkawinan. Hari itu semua sangkep geluh dari kedua belah pihak hadir untuk memuliakan pesta perkawinan itu. Apabila pesta itu adalah sintua (agung), yakni dengan memotong kerbau dan erkata gendang, dan kalimbubu membawa ose anak berunya (sukut). Akan tetapi, di daerah Karo Jahe (Langkat) apabila pesta sintu, maka perkawinan diawali dengan erpangir kulau (mandi untuk membersihkan diri ke sungai). Dimana kedua pengantin diarak mengelilingi kampung kesungai untuk erpangir kemudian ketempat pesta. Pengantin laki-laki pada waktu diarak ini tidak memakai baju (kemeja). Ada pun acara yang dilakukan dalam kerja nereh empo ini meliputi, nangketken ose, nuranjang/ngelangkah, ertembe-tembe, pedalan ulu emas, aturan menari/telah-telah, dan sijalapen.

d. Mukul
Pada malam harinya setelah pesta perkawinan dilaksanakan acara mukul, dimana masih ikut beberapa keluarga terdekat dari masing-masing pihak. Mukul ialah acara trakhir dalam melengkapi syarat dalam pengukuhan suatu perkawinan menurut adat Karo, karena terkandung didalamnya semacam persumpahan dengan isi sehidup semati.

e. Ngulihi Tudung/Ngulihi Bulang

Biasanya setelah empat hari setelah mukul, diadakanlah upacara ngulihi tudung/ngulihi bulang. Ngulihi tudung adalah suatu upacara dimana kedua mempelai diarak (diantar) ke rumah orang tua mempelai perempuan; sedangkan nguluhi bulang adalah suatu upacara dimana mempelai diarak dari rumah orang tua mempelai perempuan menuju rumah orang tua mempelai laki-laki. Selesai acara ini, kedua mempelai diantarkan ketempat/rumah mereka untuk memulai hidup baru secara mandiri.
Harus diakui bahwa proses dan tata cara perkawinan Karo sangat panjang dan berbelit-belit. Hal mana kalau dipikirkan adalah merupakan pemborosan waktu, tenaga dan materi. Dengan adanya proses dan tata cara yang panjang dan melelahkan,rupanya membawa pengaruh positif, yaitu jarang terjadi perceraian/poligami pada masyarakat Karo.

Dimana masyarakat Karo juga mengenal bentuk perkawinan monogami. Monogami adalah perkawinan antara seorang laki-laki dengan seorang wanita. Monogami merupakan bentuk perkawinan yang pada umumnya diakui serta dilandasi oleh sanksi adat istiadat dan agama, maka perkawinan iti akan dapat bertahan (Khairuddin, 1997:22).